Lembar Keenam

135 11 0
                                    

Alan tahu pasti bagaimana respons kakaknya kala melihat keberadaannya di sini. Tentu Afka tak segan akan mengusirnya pergi seperti yang sudah-sudah. Namun, kali ini ia lebih percaya diri. Ia tak boleh kalah. Terlebih Afkar memberikan sebuah kunci yang katanya dengan menunjukkannya pun mungkin akan membuat kakaknya diam.

Ya, tanpa bertanya pun Afkar tahu bagaimana respons yang diberikan sang putra pada anak manis yang merupakan bagian dari keluarganya itu. Bukan hanya Afkar, mungkin orang terdekat juga dapat memperkirakan. Sejujurnya tak hanya pada Alan. Dengan yang lain pun sikap putranya itu banyak berubah. Namun, karena suatu masalah yang bagi sebagian orang mungkin sepele menjadikan perlakuan yang didapatkan anak manis itu lebih kentara perubahannya.

Suara pintu kamar mandi yang dibuka mengalihkan pandangan sosok yang kini tengah duduk di tepi bed. Afka melempar tatapan tajam. Tak apa, lama-lama Alan terbiasa dengan hal itu.

Afka, wajah kakaknya itu terlihat jauh lebih hidup dari kemarin, meski masih tampak sedikit pucat. Si bungsu bangkit, mengembangkan senyum manis yang ia punya. "Jangan usir, aku udah dikasih izin Om Afkar, kok. Lagian Kak Afka bilang aku bebas keluar-masuk ke kamar kakak."

Afka enggan menggubris. Langkahnya ia bawa keluar dari kamar. Namun, belum sampai tangannya menyentuh gagang pintu, lengan kirinya sudah dicekal si bungsu.

"Kalau kakak mau ngomong sama aku. Kunci ini bakal aku serahin ke Kak Afka," ujarnya menunjukkan kunci yang ia angkat dengan tangan kanannya. Netra Afka nampak tertarik, namun kemudian kembali tak acuh.

"Lepas."

Melihat nada lirih yang lebih tua, si bungsu menurut, melepaskan cekalan tangannya yang cukup erat.

"Aku kangen Kak Afka yang dulu." Sorot sendu nya kini menyelami manik mata sosok yang tengah menatapnya tak berkedip.

"Kakak nggak kangen aku?" Tanyanya menggantung, sedangkan yang lebih tua kini sudah membuang mukanya, membuat air muka si bungsu murung.

"Setahun bukan waktu yang main-main buat jawab."

"Kalau kakak juga kangen?" Tanya si bungsu tersenyum girang. Meski sejujurnya ia tahu persis bukan itu maksud kakaknya. Rasanya, kalimat tanyanya justru bagai bumerang untuk hatinya.

"Kalau semua udah beda." Tegasnya membuat senyum itu perlahan luntur.

Kalau kakak udah sayang ya sayang. Titik, komanya menyesuaikan.

Berarti dinamis ya? Bisa berubah tergantung keadaan.

Hampir semua yang ada di bumi sifatnya dinamis. Termasuk perasaan.

"Kunci." Pinta Afka seraya menengadahkan telapak tangan kanannya. Suara permintaan itu sontak membuat yang lebih muda tersadar dari lamunannya akan percakapan keduanya setahun yang lalu.

Alan menggeleng tegas. Senyumnya kembali ia tebarkan. Jujur, ia tak tahu seberapa penting kunci yang ada di tangannya bagi Afka. Namun, menyadari jika dengan kunci itu kakaknya akan menanggapinya, maka ia ingin menahannya lebih lama. Tidak salah 'kan jika ia memanfaatkan hal itu?

"Aku belum selesai ngomong."

Tatapan tajam itu kembali Afka layangkan. Namun, si bungsu berusaha abai. Kalau tidak, maka seterusnya ia tak akan mampu berhadapan dengan Afka. Itu yang membuatnya tak gentar.

"Kak Afka nggak harus lupain Ziel, karena Ziel emang nggak boleh dilupain. Tapi, kalau buat ikhlasin Ziel, Kak Afka emang harus usaha buat itu."

Alan melangkah ke arah sofa, mengambil sebuah paper bag yang sudah ia siapkan. Meski begitu, ia tak berhenti bersuara.

Akalanka 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang