Perjalanan panjang memang melelahkan. Terlebih, duduk dan setengah berebah justru membuat tubuhnya terasa pegal. Lega itu terasa ketika kakinya akhirnya dapat bergerak menapak dengan bebas. Sosoknya melangkah tepat di samping mama. Dari kejauhan sudah bisa ia tangkap keberadaan dua sosok yang juga tengah mengamati keadaan sekitar dengan ponsel yang ada di genggaman tangan.
Tepat, kini netra kakaknya dapat menangkap keberadaannya. Denta melangkah lebih dulu untuk menghampiri, disusul Niko di belakangnya. Denara tersenyum menerima tangan Denta yang terulur untuk menyalaminya.
"Saya bawakan ya, Bu." Niko bersuara mengambil alih koper yang Denara bawa.
"Panggil Mbak aja, Nik." Balas Denara yag diangguki Niko, entah benar-benar akan dilakukan atau kembali diingkari.
Sampai rumah, Niko hanya membantu membawa masuk koper saja. Laki-laki itu langsung melesat pergi setelah pamit sebab ada pekerjaan lain yang harus ia selesaikan.
Begitu sampai kamar, Alan langsung membanting tubuhnya di kasur. Merebahkan diri dengan nyaman, melemaskan otot-otot tubuhnya. Denta hanya tersenyum tipis mendapati kondisi adiknya.
"Capek ya?"
"Pegel, Kak." Balasnya lantas beralih ke posisi duduk. Sosoknya perlahan melepas kaus kaki dan sepatu yang masih membalut kedua kakinya. Sosoknya bangkit, membawa benda itu ke kamar mandi untuk ia cuci sekaligus membilas kakinya.
"Mandi sekalian, sini kakak jemurin."
Alan mengangguk, membiarkan kakaknya itu melakukan apa yang ingin dilakukan. Sosoknya kini bergerak memilih baju ganti, meraih handuk, lantas kembali masuk ke kamar mandi untuk mengguyur badannya yang terasa lengket karena keringat. Setelah selesai, anak itu memilih keluar kamar sebab tak melihat presensi sang kakak.
Baru saja melewati pintu kamar, sosoknya kini berbalik kembali teringat pesan Praksa yang menyuruh menghubunginya jika sudah sampai. Sayang, panggilan darinya tak diangkat membuat anak itu akhirnya beralih untuk mengirimkan pesan dahulu.
Degup langkah kaki yang menapak mendekat kini mengambil alih arah pandang wajahnya dari ponsel. Kakaknya merebahkan diri begitu saja di sofa kamarnya. Tunggu, kenapa wajah kakaknya justru terlihat lesu? Lebih lelah dari dirinya yang notabene baru saja istirahat dari perjalanan.
Meletakkan ponselnya, sosoknya kini berjalan keluar, tanpa mengucap satu patah kata. Denta juga abai, menarik bantal sofa dan menutupkannya ke wajah dengan kelopak mata yang mengatup. Faktanya ia juga baru saja melakukan perjalanan yang bahkan jaraknya lebih jauh dari jarak perjalanan yang dilalui adiknya.
"Permisi, teh nya, Kak!"
Sosoknya kembali membawa dua cangkir teh hijau panas. Denta membuka mata. Tangannya mengalihkan bantal yang menghalangi pandangannya. Perlahan, remaja itu beralih ke posisi duduk.
"Udah cocok kalau mau ngelamar kerja."
Sosoknya terkekeh geli, menertawakan kelakuannya barusan. Diletakkannya nampan yang ia bawa di meja. Mau langsung diberikan ke kakaknya, tapi masih panas. Jadi, entah kenapa kakinya justru tertarik mendekati kasur miliknya, menghempaskan tubuhnya di sana. Tapi, tak lama, sosoknya kini bangkit meraih ponselnya. Om nya itu belum membalas pesannya. Masih sibuk barangkali.
Ada satu hal yang membuat kesadarannya sepersekian detik seolah hilang. Salah satu chat room yang ia sematkan, di sana, tepatnya di chat room-nya dengan Afka kakaknya, foto pfofil dengan warna navy itu terpampang di sana; menggantikan tempat gambar yang sebelumnya tak diisi.
Buru-buru ia sentuh layar yang menggiring pada room obrolan. Ia ketikkan sebuah pesan singkat ucapan terima kasih. Berhasil, centang dua. Alan tak berharap lebih. Tapi baginya hal itu merupakan sesuatu yang cukup baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akalanka 2
General FictionMasalah tak sepenuhnya hilang begitu saja; meninggalkan satu luka yang masih tersisa. Niatnya pergi untuk menyembuhkan sisa luka. Namun, hal yang wajar bukan jika rencana seringkali tak sejalan dengan realita? Sisa lukanya memang sudah hilang sempur...