Perjalanan pulang itu kembali terasa hening. Melihat putra almarhum adiknya yang mendadak diam setiba di mobil membuat Praksa urung membuka suara. Padahal, anak itu masih dapat berucap ramah dan tersenyum sumringah kala berpamitan dengan simbok tadi.
Sembari memperhatikan jalan depan, Praksa sesekali mencuri-curi pandang ke arah samping tempat sosoknya duduk. Hingga saat netranya tepat bersiborok dengan manik mata yang lain, pria itu akhirnya bersuara, mengajukan pertanyaan utama yang sekiranya dapat menumbuhkan rasa lega di hatinya.
"Simbok tadi cerita apa?"
"Banyak, Om."
Suasana mendadak hambar dari suara manusia. Merasa tak ada imbuhan balasan, Praksa segera menyambung bertanya.
"Perasaanmu bagaimana? Om hanya ingin memastikan kalau kamu tidak semakin sedih."
Kini, senyum itu kembali nampak meski tipis. Bagai sinar mentari yang masuk ke ruangan melalui celah-celah ruang. Sudah bisa menjadi suatu pertanda bahwa mentari mulai merangkak menyinari belahan bumi.
"Sepuluh persen sedih, dua puluh persen terharu, dua puluh persen lega, sisanya seneng." Jelasnya pelan.
"Campur aduk ya?" Tanya Praksa yang belum menemukan topik lain. Hanya sekadar mengonfirmasi untuk memperpanjang waktu guna memikirkan kalimat yang akan ia ucapkan selanjutnya.
"Tapi enak kalau nggak dicampur aduk, Om."
"Selera itu. Kalau bubur, Om suka yang nggak dicampur aduk. Kalau gado-gado enak yang diaduk." Balas Praksa yang tak menyangka kalimat itu keluar dari bibirnya. Prinsipnya adalah obrolan tak boleh terhenti begitu saja. Meski jawabannya sekenanya, ia yakin sosok di sampingnya tak akan menertawakannya.
"Memang kalau nggak dicampur aduk masih bisa disebut gado-gado ya?"
"Om juga tidak tau. Tapi, kenapa malah jadi bahas makanan?"
"Dari perasaan ke makanan. Samaan rimanya." Jawab anak itu melisankan hal yang sekelebat melewati ranah pikirannya.
"Untung kamu ngobrolnya sama, Om." Balas Praksa membuat sang ponakan tertawa ringan.
Tak berselang lama, mobil yang melaju sedang itu memasuki gerbang, tepat saat adzan magrib pertamakali berkumandang di kawasan tersebut.
Praksa merangkul bahu sosok yang tampak mungil jika berdekatan dengan tubuhnya yang tinggi dan kekar. Hingga kemudian atensi Risa membuat langkah-langkah itu mendekati perempuan yang kini tengah tersenyum, menatap sosok yang dirangkul Praksa.
"Tante kira cepet baliknya. Eh, ternyata dibawa kabur Mas Praksa."
Tangan kanan Risa terulur, menyentuh pipi lembut sosok yang sudah telanjur ia sayangi. Sementara Praksa kini memilih berlalu, membiarkan sang istri mengambil alih sosok yang beberapa jam ini pergi bersamanya.
"Adek tidur ya?"
"Iya, Kak. Adek dijagain sama Tante Afra."
Langkah keduanya kini masuk semakin dalam. Risa memang berniat mengantarkan sosoknya memasuki kamar. Namun, kini langkah wanita itu justru terhenti di depan pintu kamar lain yang otomatis membuat sosok di sisinya juga mengikuti. Keinginan untuk pergi terus mengetuk hatinya, tapi kini tertahan menyadari presensi seseorang yang menatap penuh ke arah Risa.
"Tante ngetuk pintu ada apa?"
"Tante kira masih tidur. Dari tadi nggak kelihatan soalnya."
Afka menggeleng, tersenyum tipis secepat kilat. "Baru mau mandi ini."
"Kebiasaan. Nunggu hawanya makin dingin dulu ya!"
"Bisa pake air anget." Balas Afka membuat wanita itu menyentil pelan dahinya. Sejenak, Risa lega sebab ponakannya itu masih menanggapinya seperti biasa. Risa kini tahu persis bagaimana kondisi ponakannya setelah Afra menceritakan semuanya secara detail.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akalanka 2
General FictionMasalah tak sepenuhnya hilang begitu saja; meninggalkan satu luka yang masih tersisa. Niatnya pergi untuk menyembuhkan sisa luka. Namun, hal yang wajar bukan jika rencana seringkali tak sejalan dengan realita? Sisa lukanya memang sudah hilang sempur...