"Kamu nggak pulang?"
Sosoknya menggeleng, berjalan mendekat ke ranjang setelah sebelumnya baru keluar dari kamar mandi. Ia sudah meminta izin pada mama yang sudah pulang sejak habis magrib tadi. Kalaupun niatnya tidak menginap, sudah dari habis magrib ia ikut pulang.
"Mau nginep nemenin kakak." Balas sosok dengan manik mata teduhnya.
"Tapi besok sekolah."
"Besok pagi banget, Om Niko sama Kak Denta mampir sini, kok." Sosoknya kini mendudukan diri di kursi dekat bed. Netra tenangnya menjelajahi kembali seisi ruangan. Sebelum akhirnya, perhatiannya jatuh kembali pada seseorang yang kini menatapnya penuh. Sosoknya paham sorot mata penuh kerinduan itu. Sorot yang sudah lama ia rindukan pula akan menatapnya demikian.
"Kak, minum ya? Bibir kakak berdarah itu."
Alan tak berbohong, membiarkan jemari kurus kakaknya akhirnya bergerak menyentuh bibirnya sendiri. Lantas, setelah melihat noda darah yang menempel di jemarinya, barulah kakaknya itu mengangguk. Dengan cekatan ia isi gelas kaca tembus pandang itu dengan setengah air panas dan setengah air dingin.
"Makasih."
Sekali sosoknya mengangguk. "Badannya udah lebih enakan?"
Tidak ada jawaban. Manik mata beriris coklat terang itu kembali bergerak gelisah. Raut wajahnya nampak kebingungan dengan bibir yang berancang-ancang untuk membuka. Namun, kembali terkatup urung bersuara membentuk pola yang berulang. Baru saat suara lembut si bungsu terdengar memanggil, fokus Afka tertangkap sepenuhnya.
"Kak Afka butuh sesuatu?"
"Mama masih lama?"
"Enggak, bentar lagi pasti ke sini. Kak Afka mau apa? Aku bisa bantu kok."
Gelengan dengan senyum seadanya muncul sebagai jawaban atas pertanyaan yang lebih muda. Afka kembali diam. Kelopak matanya kini sedikit menutup selaras dengan arah pandangannya yang menunduk. Jemarinya yang berada di sisi tubuh kini membuka, menutup, mengepal, bergerak tak karuan. Semua itu tak luput dari perhatian sosoknya. Cukup risau dengan punggung tangan yang terpasang infus itu, sosoknya bangkit dari duduknya, mengelus jemari-jemari itu dengan lembut.
"Cerita yuk, Kak. Lama banget nggak denger cerita kakak."
"Kamu aja."
"Kak Afka mau denger cerita apa?"
"Apa aja."
Melihat perhatian yang lebih tua kembali fokus menatapnya, sosoknya kembali duduk. Senyum tipis itu ia berikan sebagai pembuka cerita. "Kak Afka selalu punya mantra yang bikin aku semangat. Percaya deh, Kak, setahun di sana bikin kangen banget sama kakak. Kangen kalimat positif yang selalu kakak kasih buat aku, kangen usilan kakak, kangen banget dimanjain kakak, kangen semuanya."
"Tapi, nyatanya lihat muka kakak lewat vidcall aja nggak bisa. Jangankan itu, kirim pesan aja nggak bisa. Baca riwayat chat di roomchat aja yang bisa aku lakuin. Cuma itu yang bisa ngobatin kangenku meskipun cuma sementara."
Manik mata coklat terang itu masih menatap sosoknya tanpa kedip. Air matanya yang sudah luruh nyatanya tak membuat Afka risih maupun malu, membiarkannya begitu saja tanpa ada niat untuk menghapusnya . Sosoknya pun sama, memamerkan air matanya sebagai bukti bahwa cerita dan perasaannya tak mengada-ada.
"Jujur, aku pernah iri sama Ziel, Kak. Tapi aku juga takut buat pulang. Bayangan Kak Afka yang marah, berubah, nggak lagi nganggep aku selalu buat aku takut. Tapi, aku juga sayang sama Ziel. Adik aku itu udah bikin kakak aku bahagia, meski nantinya aku bakal dilupain."
"Kakak nggak pernah lupain kamu. Maaf, kalau marahnya udah keterlaluan." Tangan kurus itu terulur mengusap jejak basah di pipi yang lebih muda.
"Kakak istirahat ya?" Afka bertanya. Ada emosi besar bergejolak yang benar-benar membuatnya lelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akalanka 2
General FictionMasalah tak sepenuhnya hilang begitu saja; meninggalkan satu luka yang masih tersisa. Niatnya pergi untuk menyembuhkan sisa luka. Namun, hal yang wajar bukan jika rencana seringkali tak sejalan dengan realita? Sisa lukanya memang sudah hilang sempur...