Gerbang sekolah yang sering di buka ada dua, gerbang depan yang ada di sebelah utara dan gerbang samping yang ada di barat. Gerbang di dekat bangunan sayap barat dekat dengan jalan raya, masih punya halaman yang cukup jika kendaraan yang mengantar siswa menepi untuk sementara. Bisa saja masuk lewat gerbang depan, tapi jauh lebih padat kondisinya. Sebab jalan dan halaman depan gerbang akan dipenuhi antrean kendaraan siswa.
Denta keluar dari mobil, diikuti sosok yang setahun lebih muda darinya. Dua sosoknya kini melangkah masuk. Denta yang lebih beruntung sebab gedung jurusannya ada di sayap barat, berlawanan dengan gedung jurusan adiknya, sehingga tak perlu lama menempuh jarak yang lebih jauh untuk jalan kaki. Beda lagi kalau mereka masuk dari gerbang depan, jarak tempuhnya rata-rata hampir sama.
"Kak Candra di IPS dua. Kelasnya cuma sebelahan 'kan sama kelas kakak?"
"Di lantai dua."
Anak itu nampak berpikir. Baru kali ini dirinya menemui hal seperti ini. Dari dulu urutan kelasnya selalu mulai urut dari abjad atau urut dari nomor. Tapi rupanya kasus yang sekarang berbeda, Denta yang ada di IPS 3 ternyata tak bersebalahan dengan Candra yang di IPS 2.
"Hei! Ini Vindra 'kan?"
Alan yang merasa terpanggil menoleh ke sosok yang kini senyum nyengir berjalan menghampirinya.
"Lo kok nggak bilang sih, Ta, kalau kenal sama ini bocah." Protes Gama.
"Eh, sama ini anak maksudnya."
"Kertas lembaran kemarin udah lo kumpul?" Denta justru mengajukan topik yang berbeda. Kalau dijawab, lama. Denta juga bukan orang yang banyak bicara yang mau dengan mudahnya menjelaskan begitu saja.
Gama mengangguk. "Lah ini gue barusan dari kelasnya kakel."
Denta mengangguk, lantas berlalu memasuki kelas untuk meletakkan tas kepunyaannya. Denta yang keluar dari kelasnya kini berjalan ke kelas yang akan dituju membawa dua lembar kertas formulir yang akan ia kumpulkan.
"Gama apa kabar, Gam?" Sapa sosoknya ramah. Gama balas senyum renyah.
"Gue sehat fisik sehat mental. Eh, gue nggak nyangka kita bisa satu sekolah. Lo kelas mana? Anak IPA 'kan?"
Anggukan sosoknya mendahului suaranya. "IPA satu. Aku malah udah tau duluan kalau kamu sekelas sama Kak Denta."
Pundak sebelah kanan sosoknya mendapat tepukan yang cukup keras dari Gama. Kebiasaan cowok itu memang. "Wow! Kelas lo sarangnya harimau yak!"
"Eh-eh, udah lama kenal sama Denta ya?" Imbuhnya dengan jeda yang hanya beberapa detik.
"Kebetulan pas SMP satu sekolah."
Gama mengangguk-angguk paham. Ingin menyambung obrolan, tetapi ada suara lain menginterupsi.
"Woy! Gam! Lo dicari Pak Ketu." Teriak seorang cowok dari kejauhan.
Gama mendengus, tak suka obrolannya yang masih akan ia lanjutkan diganggu dengan seruan teman sekelasnya.
"Sorry, nih. Gue dipanggil Pak Ketu."
"Nggak papa. Ini juga mau ke kelas. Duluan ya!"
"Istirahat kantin 'kan?" Gama berseru ketika keduanya sudah sama-sama melangkah menjauh. Alan menoleh, lantas mengangguk begitu saja. Mau menolak juga terburu-buru, jatuhnya tak enak mau beralasan seperti apa.
Kelasnya masih sangat sepi. Meski begitu, sudah ada beberapa tas yang ditinggalkan pemiliknya. Terdeteksi bahwa ia hanya sendirian di dalam kelas. Tentu saja kesempatan itu tak Alan lewatkan. Afka tak akan suka jika ia menyapanya dan berurusan dengannya di sekolah. Sebab itulah, kini langkahnya ia bawa ke kursi tempat Afka meletakkan tasnya, kursi yang sama seperti kurai yang ditempati kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akalanka 2
General FictionMasalah tak sepenuhnya hilang begitu saja; meninggalkan satu luka yang masih tersisa. Niatnya pergi untuk menyembuhkan sisa luka. Namun, hal yang wajar bukan jika rencana seringkali tak sejalan dengan realita? Sisa lukanya memang sudah hilang sempur...