Lembar Kedua Puluh Lima

153 12 5
                                    

Afka memang sudah lebih baik jika dalam konteks menyikapi yang lebih muda. Namun, bagi Akalanka masih ada beberapa hal yang mengganjal di hatinya. Boleh tidak jika ia serakah? Mengharap seseorang yang begitu ceria dan banyak bicara itu dapat kembali ke kondisi semula. Bukan, maksudnya wajar saja jika perlu proses; perlu waktu untuk bisa pulih.

Namun, mengapa hatinya tetap saja resah mendapati kekosongan di manik mata yang susah payah ia jaga tapi selalu saja berhasil melepaskan diri dari perhatiannya? Seolah apa yang dialami kakaknya tak bisa disembuhkan hanya dengan obat semata. Lebih dari itu, Alan merasa bahwa sebenarnya kehadirannya juga tak begitu berpengaruh. Boleh tidak ia berpikiran bahwa kakaknya itu hanya mencoba menghargainya? Mencoba bersikap baik untuk meringankan beban yang ada sebab bagaimanapun, dalam pikirannya, masalah antar sang kakak dengan sang ayah juga semakin tegang semenjak ia kembali.

"Kenapa? Ada yang lagi ganggu pikiran kamu?" Pertanyaan dari seseorang yang manik matanya sudah terisi rasa penasaran itu mengalihkan sosoknya dari pikiran yang menjurus pada asumsi yang membelenggunya.

Tersenyum tipis, Alan menggeleng sebelum bersuara. "Nggak ada kok, Kak. Jadi, beneran kakak udah bisa pulang besok? Bukan karena maksa dokternya 'kan?"

Manik mata beriris coklat terang itu menyipit, dengan ekspresi yang berhasil membuat sosoknya meringis takut ucapannya salah. "Nggak kok, emang udah nggak demam juga."

Tak ada yang bersuara. Alan sedang sibuk merangkai kalimat untuk memperpanjang obrolan yang ada. Karena dibandingkan kemarin dan pagi tadi, ia merasa mood kakaknya tak sebaik itu. Tiap ia kehabisan ide untuk bertanya atau bercerita, kakaknya itu seolah enggan untuk membuka topik lebih dulu. Terhitung hanya sekali tadi, oleh sebab itu berinisiatif membuka suara lebih dulu. Ia pun menebak jika itu juga karena ia yang mungkin terlihat tenggelam dalam asumsi dalam pikirannya.

Sejujurnya ada hal yang ingin Alan sampaikan dan tanyakan. Tapi sayang, itu bersangkutan dengan Om Afkar. Dan untuk saat ini, ia cukup sadar jika tak bisa memasukan topik itu dalam obrolan. Setidaknya sampai Tante Afra dan yang lain lebih dulu membahas hal itu.

"Kalau mau istirahat-,"

"Nggak kok. Dari tadi udah tidur mulu. Denta balik jam berapa emang?"

"Setauku pertemuan anggota OSIS sampai jam setengah lima. Tapi, kurang tau juga, Kak."

Hening kembali menyapa di pertengahan obrolan yang ada. Tapi, tak cukup lama sebab yang lebih tua kembali bersuara untuk menghidupkan suasana.

"Denta banyak berubah. Seneng juga lihatnya."

Sosoknya hanya mampu mengiyakan dalam hati. Setuju bahwa banyak sekali perubahan positif dari kakak tertuanya. Namun, manik matanya tak bisa diatur untuk tak menyendu. Sebab, mengapa hal itu justru berbanding terbalik dengan perubahan seseorang yang sudah lama ia damba agar kembali mau menyapanya? Rasanya jauh lebih menyedihkan menjadi saksi perubahan drastis dari seseorang yang dahulunya layaknya mentari.

"Kak Afka juga banyak berubah."

"Iya, berubah makin buruk."

Sosoknya justru gelagapan, mendapati hal yang ia tahan sudah terlanjur terucapkan. Dan, apa yang ia dengar benar-benar terasa memancing perkara. Mencoba berpikir keras, sosoknya akhirnya kembali bersuara.

"Nggak kok. Yang aku lihat kakak makin rajin, tanggung jawab juga. Seenggaknya perkiraanku nggak salah, Kak Afka aslinya emang secerdas itu."

Tak ada sanggahan maupun persetujuan yang sosoknya dengar. Tak bisa Alan tampik bahwa keterdiaman yang lebih tua kembali membebani pikirannya. Apa iya ucapannya mengganggu hati yang lebih tua? Kalau iya, sepertinya lebih baik ia diam saja daripada sedari tadi salah-salah bicara.

Akalanka 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang