Lembar Kedua Puluh Tiga

156 14 0
                                    

Sosoknya memang memutuskan ikut, tapi kecemasan dan ketakutan yang ia rasakah tak enyah begitu saja. Alan hanya berusaha mengisi pikirannya dengan pikiran-pikiran positif. Bahwa ia datang dan ia akan lega setelah melihat langsung keadaan Afka. Ia datang, dan kemarahan ataupun pengusiran yang ia sangka akan ia dapatkan sama sekali tak benar adanya. Begitu seterusnya sampai sosok itu sejenak lupa pada kecemasan dan ketakutannya.

Presensi seseorang yang tengah duduk di kursi tunggu luar sudah menyita perhatian sosoknya dari kejauhan. Sosoknya tahu betul siapa seseorang dengan bawahan seragam sekolah dan atasan yang berbalut jaket itu.

"Kak, kenapa di luar?"

Denta rupanya setengah melamum. Terlihat jika cowok itu kaget sebab suara yang ia dengar lah yang lebih dulu menyadarkannya daripada presensi dua orang yang sudah berdiri di dekatnya duduk.

"Kakak udah makan?" Kali ini si bungsu yang bertanya, sedang pertanyaan Denara belum mendapatkan jawaban.

"Tadi pulang sekolah langsung ke sini ya, Kak?" Denara baru tersadar dengan celana seragam yang dikenakan calon putranya itu. Denta mengangguk sekali. Nampak jika lelah yang tersirat dari wajah cowok itu tak bisa membohongi.

"Kalau memang mau nunggu, makan dulu, Kak. Tante beli dari kantin dulu ya? Nanti Tante bawain dari rumah kalau kamu mau nginep sini."

Denta terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengangguk sebab ia memang tak enak menolak penawaran baik dari calon ibunya. Denara tersenyum, mengusak surai hitam itu sekali lantas berganti menepuk pelan bahu putranya sebelum akhirnya melangkah pergi.

"Kak Denta kenapa nunggu di luar?" Pertanyaan sang mama yang belum terjawab diulangi kembali sosoknya.

"Kak Afka diemin kakak?"

"Kakak nggak tega."

Jawaban singkat yang tak ada unsur kebohongan di dalamnya. Kalimat yang membuat sosoknya kembali menerka-nerka, membuat kecemasan dan ketakutan yang mulai enyah kembali tiba.

"Kak Afka sama siapa?"

"Ada Tante Afra di dalam. Masuk aja, Dek."

Alan tak menjawab. Pikirannya mengarah pada ucapan mama bahwa kakaknya itu hanya mau berbicara dengan wanita yang ia panggil Tante Afra. Tak ada yang berbicara sampai Denara akhirnya datang membawa satu kresek putih di tangannya.

"Makasih, Tante."

"Sama-sama. Makan di taman enak tuh, Kak."

Denta mengangguk tersenyum. Ia memang berencana ke tempat itu, tak mungkin jika ia masuk ke dalam sementara yang di dalam saja menolak habis-habisan untuk makan.

"Ditemenin nggak, Kak?"

"Sendiri aja. Langsung masuk aja, Tante."

"Oke, dihabisih loh."

Denta mengangguk, mengangkat jari jempolnya dan berjalan menjauh. Sampai cowok itu tak terlihat, barulah Denara merangkul putranya untuk masuk. Pelan tapi pasti sosoknya mengekor di belakang. Meski tubuh mama tak bisa menyembunyikan keberadaannya di belakang, sosoknya merasa jauh lebih aman.

Alan tak tahu rupa kakaknya sekarang. Punggung Afra menutupi wajah yang ia khawatirkan, dan saat semakin mendekat sosoknya baru sadar jika wanita itu tengah membisikkan sesuatu yang tak ia ketahui maksudnya.

"Mbak." Suara pelan Denara dengan menepuk halus bahu Afra baru membuat wanita itu berbalik menampakkan wajahnya. Afra tersenyum tipis, meski kesedihan di wajah yang selalu menampakan binar keramahan itu nampak kentara sekali.

Denara balik tersenyum berusaha menenangkan. Tangannya terulur memberi kekuatan dengan menggenggam tangan perempuan yang kini meneteskan air matanya.

Denara mendekat, sedang Afra sedikit mundur memberikan ruang. Sekarang wajah pucat dengan bibir tipis yang tak terhidrasi dengan baik itu terlihat begitu jelas. Saat tangan Denara meraih telapak tangan putih kurus itu, si empu tangan memalingkan wajahnya. Denara tahu jelas jika air mata di pipi tirus itu mengalir turun meski wajah itu menghindari tatapannya.

Akalanka 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang