Lembar Kedua Puluh Enam

121 13 7
                                    

Soal hubungan yang lebih tua dengan sang papa yang kurang baik, Alan mengetahuinya. Namun, jika diibaratkan ia hanya tahu covernya saja. Terkait seberapa buruk hal yang terjadi, asal muasal penyebab pastinya, atau bahkan kompleksitas nya jelas ia tak tahu. Jika akan bertanya pun, hanya mama yang bisa ia tanyai dengan catatan jawaban yang ia peroleh hanya sebatas yang mama bagikan saja.

Namun, saat ini ia bisa menilai bahwa hubungan yang ada memang jauh tak sebaik dari yang ia kira. Sebelumnya, ia hanya merasa bahwa sang kakak enggan menemui dan menghindari sang papa karena masih tak terima persoalan Ziel. Sebab yang ia tahu Om Afkar memang begitu tegas ketika sosok yang ia sebut Kak Afka itu menunjukkan keterikatan dan begitu terlarut pada kepergian Ziel yang dipandang berlebihan. Ya, mungkin niat Om Afkar baik, tak mungkin seorang ayah bermaksud buruk pada putranya. Namun, untuk caranya sendiri mungkin tidak bisa diterima sang kakak, itu hal sekilas yang ia tahu, dahulu. Untuk sekarang, yang ia lihat tak sebaik itu.

Dari perubahan ekspresi sang kakak yang mendadak diam kala Om Afkar datang, kemudian mendadak histeris ketakutan saat Om Afkar mulai mendekat; benar-benar tak pernah ia sangka. Sosoknya merasa bahwa ia benar-benar tak tahu apa-apa. Apakah memang kondisi psikis kakaknya yang begitu rentan setelah kehilangan Ziel? Ataukah tindakan Om Afkar yang tak banyak ia ketahui itu penyebabnya? Atau justru kombinasi dari keduanya? Namun, sungguh ia masih berusaha berpikir positif bahwa Om Afkar tak mungkin seberlebihan itu. Ia berharap yang lebih tua hanya perlu waktu dan memang tengah enggan saja untuk menemui sang papa; semua hanya perlu waktu.

"Kak."

Tidak ada jawaban apapun. Sosok yang barusan ia panggil berbaring membelakanginya. Sejak kemunculan Om Afkar beberapa menit yang lalu, kakaknya itu mendadak diam setelah melemparkan kalimat pengusiran dalam kondisi ketakutan. Hanya tatapan kecewa pada Tante Afra yang kakaknya itu layangkan. Sedangkan pada dirinya yang sedari tadi diam di sana, kakaknya itu juga tak melakukan apa-apa.

"Kak, ap--,"

"Pulang."

"Kak, kasian loh adeknya nggak tau apa-apa."

Mau bersuara pun ia tak bisa. Ada keraguan yang membuatnya enggan jika salah-salah berkata. Tante Afra hanya membantunya, rasanya juga kurang etis jika ia masih memprotesnya.

"Mama minta maaf belum bilang. Kalau mama bilang, pasti kamu juga nggak mau 'kan? Papa tadi cuman pengen ketemu sebentar. Pulang nanti 'kan ke rumah Om Dheas. Papa udah kasih izin."

Jeda. Tak ada jawaban.

"Keluar, Ma. Aku mau istirahat."

"Di sini aja dulu ya, Sayang."

Dan seperti orang yang tengah kebingungan, ralat, pada dasarnya sudah bingung dibuat semakin bingung; sosoknya hanya diam menyaksikan kepergian satu-satunya perempuan di ruangan. Jangan tanyakan apakah dirinya masih ingin berada di sana, karena di situasi yang tak ia mengerti seperti sekarang, keinginannya untuk tetap menemani yang lebih tua semakin kuat. Terlebih, setelah melihat bagaimana.kondisi kakaknya yang di luar sangkaannya.

"Maaf."

"Ya, Kak?" Spontan sosoknya bertanya karena suara yang ia dengar barusan begitu samar. Masih dengan si penyuara yang tak berpaling dari posisinya.

"Nggak seharusnya kamu tadi lihat."

Jeda.

"Kak, boleh aku ngomong dikit? Kalau Kak Afka nggak nyaman, kakak bisa minta aku stop nanti."

"Ngomong aja."

"Soal Kak Afka sama Om Afkar, jujur aku nggak banyak tau. Cuman dari yang aku lihat, Kakak sama Om Afkar lagi nggak baik-baik aja. Aku nggak bisa bantu apa-apa, karena aku pun bingung. Kalau aku banyak tau pun, aku juga nggak berhak. Tapi, aku percaya kalau Om Afkar sesayang itu sama Kak Afka. Ap--,"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Akalanka 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang