Lembar Keempat

163 13 0
                                    

Tangis langit reda ketika dua sosoknya masuk ke pelataran rumah. Meski begitu, mendung masih enggan menggulung, menutup keberadaan matahari untuk dapat dilihat dari muka bumi. Mungkin, tak lama lagi langit masih akan menangis kembali sebab awan hujan hampir merata di penjuru arah mata angin. Namun, juga bukan tidak mungkin udara yang bergerak akan menggiring awan hujan untuk berkumpul di suatu wilayah.

Alan sedikit membungkukkan badannya, meraih tangan seseorang yang membukakan pintu utama untuk disalami. Tak cukup sampai di situ, anak itu mengecup punggung tangan sosoknya dengan pelan. Kebiasaan yang selalu diajarkan nenek sejak kecil dan hal itu tetap ia pertahankan sampai sekarang.

Ema tersenyum, keriput di wajahnya semakin terlihat jelas. Wanita itu adalah asisten rumah tangga yang paling lama bekerja dengan Dheastra, sosok yang juga mengasuh Denta dan adiknya sejak kecil. Usianya mungkin seumuran dengan Mina. Jika Ema memang tinggal menetap di rumah itu, maka dua asisten rumah tangga lainnya hanya bekerja di pagi sampai sore, lantas kembali ke rumah mereka masing-masing. Kecuali, jika ada acara tertentu.

Meski sudah mengasuh Denta sedari kecil, hubungan Ema dan putra majikannya tak begitu dekat, jauh sekali jika dibandingkan dengan hubungan Alan dengan Mina. Itu adalah penuturan Ema yang Alan dengar di kunjungan awal-awal dahulu. Meski begitu, Ema tahu jika putra majikannya begitu menghormatinya.

Kedua sosoknya melangkah semakin masuk, sedangkan Ema kini kembali berkutat dengan urusan dapur. Langkah Alan kian semakin pelan kala tiba di depan sebuah kamar. Denta bilang Afka sudah tak pernah menghuni kamar itu. Bahkan berkunjung pun jarang dan keadaan justru berbalik, Denta yang lebih sering berkunjung.

"Mau ganti pakai ba –,"

"Pake baju kakak aja." Potongnya paham maksud sang kakak. Ia menduga jika sorot mata nya yang mengarah ke kamar itu diartikan Denta dengan maksud yang lain.

Denta mengangguk, lantas melangkah lebih dulu menuju kamarnya. Alan pun lekas mengekori langkah sang kakak, berusaha mengalihkan pikirannya dengan memutar kenangan-kenangan baik yang pernah tercipta.

"Ganti baju, terus pakai jaket biar anget."

"Kakak juga." Sahut yang lebih muda yang kini telah sampai di depan pintu kamar mandi, membawa set pakaian yang sudah disiapkan kakaknya. Denta tak membalas, tetapi langsung bergegas menjalankan hal sesuai yang diperintah.

"Coklat panasnya ditunggu ya, sekalian makan siang."

"Makasih. Kak Denta cepet banget gantinya." Balas Alan yang kini berjalan menghampiri sang kakak.

"Kamu sekalian mandi?" Tanya Denta menelisik.

"Iya, anget kok airnya." Jujur nya berharap Denta memaklumi. Ia pikir sekalian saja
bersih-bersih. Lagian dirinya sangat yakin kakaknya juga mandi cepat.

"Buat?" Tanyanya polos kala sang kakak menyerahkan minyak kayu putih, antara paham dan masih mencerna maksud Denta.

"Buat goreng ikan." Balas Denta datar, membuat jawabannya benar-benar terdengar sebagai sebuah keseriusan. Alan menahan tawanya sementara sang kakak kini keluar dari kamar, entah kemana. Sebelum menyusul, ia buka minyak kayu putih itu, mengoleskannya ke area leher, lengan, perut, dan telapak kaki. Baru saja akan keluar dari kamar, Denta sudah muncul membawa nampan berisi dua cangkir.

“Ah, Kak Denta pakai repot-repot.” Sambutnya membuat Denta mengernyit heran. Tapi, tak lama kemudian senyum tipisnya juga kembali terbit.

“Bentar, kakak ambil makanan nya.”

“Nanti aja, coklat panas juga berat, loh. Atau kakak mau makan sekarang?”

“Oke.” Denta kembali duduk, bergabung dengan sang adik yang kini duduk bersandar pada sofa dengan setengah tubuh yang sudah terbenam dalam selimut. Keheningan itu kini kembali menyapa. Lagipula, penghangat suasana yang biasanya banyak menciptakan tawa
kini justru sedang dingin tak mau disapa.

Akalanka 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang