Hai, apa kabar? Semoga banyak kabar baiknya ya. Maaf karena belum bisa up seminggu sekali kayak biasanya. Ada tanggung jawab besar yang harus aku selesaikan beberapa semester ke depan. Meskipun nggak pasti, insya Allah masih aku usahain buat tetep nulis. Meski waktunya juga nggak pasti.
Sebagai informasi, ada cerita baru yang udah aku up untuk beberapa part sebagai antisipasi supaya ide nggak hilang sebab ditelan kesibukan. Udah segitu aja cuap-cuapnya.
*****
Warning 13++
Alan setengah berlari menyusuri koridor kelas. Tujuannya tak lain mengejar sosok yang memang sedang dikejar hatinya. Percayalah, ia memang sudah sesayang itu dengan Afka. Denta dan Afka itu paket berharga untuknya. Dua sosok yang berusaha menggapainya dengan caranya masing-masing, meski awalnya ia tak begitu terbuka menerima. Dua sosok yang entah kenapa bisa aware meski kabut hitam dalam dirinya ia sembunyikan. Keduanya sangat istimewa bukan? Alan tak mau menyia-nyiakan dua sosok berharga itu. Ia bahkan tak mencari, tak pernah meminta, tapi Tuhan dengan baik hati mendatangkan paket berharga itu untuknya.
"Kak." Panggilnya setelah berhasil menemukan sang kakak. Ia pikir Afka menungguinya tadi. Padahal Alan sudah memberitahu bahwa ia hanya akan ke toilet sebentar. Takut Afka sudah pulang dan meninggalkannya, cowok itu pada akhirnya setengah lari-larian.
"Kok ditinggal."
"Gak ada yang minta ditungguin." Balas Afka yang memang benar adanya. Maka dari itu Alan juga tak protes.
"Denta udah lo kasih tau?" Tanya Afka begitu melihat jemputannya. Lawan bicaranya balas mengangguk cepat. Afka berlalu, membuka pintu di depan untuk dirinya sendiri. Tak ada pilihan lain, yang lebih muda duduk di belakang.
"Mama ada 'kan?" Tanya sosoknya yang melangkah membuntuti yang lebih tua. Biasanya Afra langsung dapat ia tangkap keberadaanya, menyambutnya dengan antusias.
"Arisan paling." Sahut Afka asal. Cowok itu tak berhenti melangkah hingga sampai di depan pintu kamarnya. Alan tak ikut masuk, menunggu di depan pintu sebab ia pikir kakaknya akan segera keluar. Berjaga-jaga agar tidak kena semprot juga.
"Lo mau ganti nggak?"
"Boleh?"
Afka tak menyahut. Namun, sosok itu dengan cekatan membuka lemarinya, memilih setelah ganti untuk sosok yang masih berdiri di depan pintu kamarnya.
"Pake kamar mandi dalem, biar gue pake yang lain." Afka menyodorkan setelan ganti yang barusan ia siapakan. Cowok itu langsung bergegas keluar dari kamar, membawa setelan ganti lain untuk dirinya sendiri.
Ganti itu tak memerlukan waktu dibilang lama jika dibandingkan harus mandi. Namun, nyatanya beberapa menit menunggu setelah Alan sendiri selesai mengganti pakaiannya, kakaknya itu juga tak kunjung nampak. Sebagai inisiatif, Alan akhirnya keluar. Telapak kakinya menapaki lantai mulai dari ruangan terdekat ke yang paling jauh. Bahkan, saking bingungnya anak itu sampai menjelajah halaman belakang. Kamar tamu saja sudah ia ketuk, tapi kalau dipikir-pikir wajarnya kakaknya itu hanya berada di ruangan yang umum di tempati. Masih belum menyerah, telapak kaki telanjangnya akhirnya menuju pintu utama. Bukan kakaknya yang ia temukan, melainkan Afra yang nampak baru pulang dari acara dengan pakaian formalnya.
"Ya ampun, Sayang! Kamu ke sini kok nggak bilang? Sama Afka 'kan?"
Alan mengangguk, lantas beralih menyalami wanita cantik di hadapannya. Kebingungannya yang tengah mencari keberadaan Afka pun ia utarakan.
"Ke kamarnya Ziel udah belum?"
Alan bukannya tak memikirkan kamar itu. Namun, lebih ke ia tidak berani jika harus memasuki kamar itu. Mendekat saja ia cukup ragu. Sikap kakaknya barusan sudah cukup membaik, jangan sampai Afka mengatainya tidak tahu diri kembali. Alan tak menginginkan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akalanka 2
General FictionMasalah tak sepenuhnya hilang begitu saja; meninggalkan satu luka yang masih tersisa. Niatnya pergi untuk menyembuhkan sisa luka. Namun, hal yang wajar bukan jika rencana seringkali tak sejalan dengan realita? Sisa lukanya memang sudah hilang sempur...