Lembar Ketujuh Belas

111 9 0
                                    

"Kak."

"Aku bingung."

"Beneran bingung."

Denta yang tengah mengerjakan tugas geografi mendongak, menoleh ke arah sosok yang sedari pulang sekolah tadi nampak tak tenang. Denta tak berinisiatif untuk bertanya. Sosok yang lebih muda darinya itu sekarang sudah mulai terbuka dengannya. Kontras sekali dengan dulu yang apabila tak dipaksa tak akan bercerita.

"Kenapa? Organisasi? Eskul?"

"Kak Afka." Jawabnya menanggapi balasan Denta. Dapat Alan lihat jika air muka kakaknya itu berubah, yang awalnya serius, menjadi semakin serius. Sejak Afka membawa banyak barangnya dari kamar di sebelah Denta, Alan tahu jika dua kakaknya itu juga saling diam.

"Kak. Cukup aku aja ya? Kakak jangan. Kak Afka butuh temen."

"Dia punya banyak."

"Tapi Kak Denta jelas beda."

Denta menghela nafas pelan. Cowok itu akhirnya beranjak dari kursi tempatnya duduk, mengambil ponsel miliknya yang tadi ia taruh asal di atas tempat tidur.

"Lo di mana?"

.....

"Buruan ke rumah. Gue mau ngomong." Putus Denta mematikan panggipan yang ia mulai secara sepihak.

"Nelfon siapa, Kak? Kak Afka ya?"

Denta mengangguk sekali. Kedua kakinya kembali melangkah ke kursi tempatnya duduk tadi. Alan terdiam, merenungi permintaannya barusan. Itu tidak salah 'kan? Ia sudah melakukan hal yang benar 'kan?

Menghela nafas pelan, sosoknya kini memilih keluar kamar. Kepalanya benar-benar terasa panas. Kakinya menuntun tubuhnya untuk memasuki dapur. Di sana hanya ada Bi Ema yang tengah memasukkan bahan makanan ke dalam kulkas. Perlahan ia dekati wanita paruh baya itu.

"Mas Alan butuh apa?"

"Cuma mau buat es susu kok, Bi."

"Eh, duduk aja. Biar bibi buatkan."

Sosoknya menggeleng. Merepotkan sekali sementara Bi Ema saja belum selesai dengan pekerjaannya.

"Aku buat sendiri aja, Bi. Ya?"

"Ya sudah kalau gitu. Hati-hati ya! Bibi takut, dulu Mas Denta pernah buat sendiri terus gelasnya pecah. Kakinya kena pecahan kaca, berdarah banyak."

Sosoknya mengangguk, tak tahu jika kakaknya pernah mengalami kejadian seperti itu. Sementara Ema melanjutkan pekerjaannya, sosoknya kini mulai meracik segelas es susu coklat favoritnya.

"Om Dheas hari ini pulang malem ya, Bi?"

"Tadi Bapak bilang mau makan malem di rumah. Biasanya kalau bilang begitu, sore hari sudah sampai rumah."

"Tapi juga tidak pasti." Imbuh Bi Ema kemudian. Sosoknya mengangguk-angguk paham.

"Udah jadi nih, Bi. Aku balik ke kamar ya! Makasih, Bi Ema!" Pamitnya girang membuat Ema hanya bisa geleng-geleng kepala, tersenyum menampakkan deretan giginya yang terawat dengan baik.

Membuka pintu kamar, sosoknya melangkah pelan mencari keberadaan kakaknya yang tak nampak.

"Kamu tau 'kan kalau kakak lagi males ngomong sama Afka?"

"Itu buat yang terakhir. Kalau orangnya masih bisa diajak ngomong baik-baik, oke. Kalau enggak, kakak nggak janji bakal nurutin kamu."

Denta yang muncul dari pintu kamar mandi, berjalan ke arahnya. Tangan yang lebih tua terulur, mengambil alih gelas dari genggaman tangan yang lebih mungil. Remaja itu duduk di kursi belajarnya, meneguk es susu di dalam gelas panjang yang mungkin baru diteguk sedikit saja, atau bahkan malah belum.

Akalanka 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang