Lembar Kedua

246 15 0
                                    

Bawaan Denta yang tak seberapa memang sudah diletakkan di kamar sang adik sejak kedatangannya. Kini, dengan langkah sedang ia tapakkan telapak kakinya menyentuh lantai dingin ruangan. Si bungsu melangkah di depannya membuat dirinya justru tampak  berjalan mengekori.

Aroma favorit anak itu kembali menguar, membuat Denta yang menghirup udara ruangan dilingkupi ketenangan. Bau khas wewangian itu benar-benar bak aromaterapi untuknya.

"Bang Alfa emang seusil itu?"

"Kalau kambuh aja, Kak. Makanya wajar 'kan aku bisa sekesel itu?"

Denta tersenyum, tangannya terulur mengacak surai lembut si bungsu. Sudah lama ia tak melihat reaksi adiknya seperti tadi, dulu pun hanya kejahilan Afka saja yang mampu memancing kekesalan adiknya. Ah, mengingat nama itu membuat perasaannya kembali mengabur. Sejak kedatangannya pun, dari banyaknya pertanyaan yang adiknya lontarkan untuknya tak ada satupun pertanyaan yang menyinggung nama itu.

"Kak Denta jangan ikut-ikutan ya!"

"Hm, nggak janji."

Si bungsu yang tengah merapikan bantalnya sontak menghentikan aktivitasnya, menatap sang kakak seolah protes tak terima.

"Aku lupa."

Anak itu kembali duduk di tepian ranjang. Mendengar itu, sebelah alis tebal Denta terangkat, bertanya perihal maksud ucapan adiknya barusan.

"Aku belum bilang makasih ke kakak."

"Buat?"

"Usaha kakak nepatin janji."

"Janji emang harus ditepati."

Hening.

Denta tak tahu saja jika kini pikiran sang adik tengah riuh. Ada banyak hal yang masih ingin anak itu bicarakan, tapi kebimbangan membuatnya masih enggan bersuara. Hingga akhirnya, tepat saat Denta akan berucap, sang adik justru mendahuluinya.

"Soal Kak Afka, kenapa kakak nggak bilang?"

"Belum. Bukannya nggak akan."

Si bungsu tersenyum, miris. Jadi, setelah seminggu lebih lamanya, kapan Denta akan memberitahunya? Lalu, apa mama juga sudah sepakat tak memberitahu kabar itu padanya?

"Seminggu yang lalu Tante Afra telfon aku. Jadi, percuma juga kakak nggak ngasih tau."

Denta menghela nafas panjang, lantas menghembuskannya pelan. Niatnya ia ingin menjaga hati si bungsu sampai batas waktu tertentu, tapi rupanya kali ini ia kecolongan. Berita duka itu nyatanya telah sampai di telinga sang adik.

"Maaf."

Anak itu mengangguk. Meski senyum tipis itu terbit, tapi penampakan kaca di netranya tak dapat membohongi. "Udah terlanjur. Tapi nyesek sih, Kak. Tiap aku tanyain gimana kabar Kak Afka semuanya pada jawab baik-baik aja."

Sejujurnya, masih banyak yang ingin Alan ungkapkan. Namun, sadar akan maksud sang kakak, anak itu urung melanjutkan. Ia harap kepulangannya dapat mengobati luka itu. Selagi itu bukan hal yang mustahil, berharap tentu masih boleh 'kan?

***

Dari nada, bahasa, dan ekspresi sang adik; Denta kelewat paham jika anak itu kecewa. Namun, lebih dari pada itu, Denta justru semakin paham jika adiknya sangat lihai perihal menyembunyikan perasaan.

Ya, dirinya mungkin sama. Namun, ada perbedaan yang bahkan bisa dilihat dengan sekilas pandangan mata. Adiknya tetap dapat menebar aura tenang, meski  batinnya dalam kondisi sebaliknya. Anak itu begitu cerdas mengolah emosi. Jauh dengan dirinya yang terkadang dalam diamnya masih lepas kendali. Sepertinya adiknya itu sudah belajar sejak lama. Ya, Denta sudah paham mengingat hal-hal apa saja yang sudah di hadapi sang adik di sepanjang hidupnya.

Akalanka 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang