Malam harinya, semua baik-baik saja. Afka pada akhirnya menginap karena hujan justru meluncur semakin deras dan baru berhenti saat malam tiba. Sebenarnya alasan utama cowok itu bukan karena hujan, sebab enggan saja jika harus memantik api sebab Denta itu juga di beberapa keadaan sama keras kepala dengannya. Ya kalau batu sama-sama batu saling menumbuk, akhirnya 'kan sama-sama hancurnya, tinggal siapa yang lebih dulu. Sisi baiknya, meskipun sadar diri jika ia keras kepala dan cenderung egois, Afka juga masih mengedepankan logika, bisa bijak juga di beberapa keadaan.
Sekarang ini keadaan ruang makan di rumah Dheastra tampak lebih hidup. Dulu saat hubungan pria itu dengan sang putra bulum kembali dekat seperti sekarang, tak ada acara makan bersama di meja makan. Hingga saat putranya sudah dapat kembali digapai, barulah kebiasaan lama itu hidup. Kini, suasana semakin terlihat hidup sebab hanya ada dua kursi yang tersisa.
"Afka gimana sekolahnya, Nak?" Dheas membuka suara setelah acara makan itu selesai. Pria itu memang sudah sadar diri jika dirinya ikut terbawa mendapat perlakuan yang berbeda sama seperti yang lain. Namun, pria itu berusaha paham dan memposisikam diri sebaik mungkin setelah mengingat dan menyaksikan sendiri apa yang dialami putra sahabatnya itu. Bahkan, putranya juga pernah mengalami hal yang tak jauh berbeda. Sedikit banyak ia sangat paham.
"Masih belum tau, Om." Balas Afka santai. Sosoknya masih menikmati apel hijau bersamaan dengan kulitnya. Tiga pasang netra itu terpaku pada objek yang sama.
"Sejauh ini AC nya dingin sih, Om. Betah lah kalau kelasnya."
"Kelas khusus. Privilege nya banyak 'kan?" Dheas menaggapi. Seakan pembicaraan di meja hanya milik dua orang.
"Bayarnya juga banyak, Om. Sebanding lah harusnya," ujar cowok dengan wajah rupawan dengan garis imut yang sudah tak begitu kentara, efek aura yang dingin yang dibangun mungkin. Atau mungkin setahun tumbuh kembang membuat perubahan yang begitu kentara?
"Nggak masalah. Uang papa mu banyak." Dheas menyelipkan guyonan yang aslinya fakta untuk menanggapi.
Afka tak membalas. Selesai dengan apel hijaunya, tangannya terulur mengambil gelas berisi air putih. Ia teguk cairan itu hingga tandas. Sosoknya lantas bangkit, mendorong kursi yang ia duduki agar menempati posisinya seperti semula. Hanya menatap sahabat papanya, cowok itu pamit untuk ke kamar.
"Ayah beruntung." Denta bersuara tepat beberapa saat setelah sahabatnya itu menghilang.
Dheas hanya tersenyum simpul. Memang dibandingkan dengan yang lain ia cukup beruntung. Tapi tidak jika dibandingkan dengan bagaimana kedekatan putra sahabatnya itu dengannya dahulu sebelum keadaan berubah. Biasanya percakapan akan berjalan semakin seru dan bernyawa.
"Alan yang sabar, Nak. Dulu deketan sama dua orang yang nguras stok sabar bisa, sekarang pasti udah makin terlatih." Suara Dheas sebab tak tahu harus masuk kapan lagi.
"Ayah." Panggil sang putra tak terima.
"Loh, ayah bicara fakta kok. Kamu aja sadar diri, Kak."
Denta memilih diam. Tak biasanya juga ia meladeni usilan ayahnya. Sementara yang termuda hanya tersenyum tipis, memasukkan sebutir anggur merah ke dalam mulutnya agar rasa manis bercampur asam itu mengalihkan rasa campur aduk yang ia rasakan.
"Jangan ikutan banyak diam melamun, loh."
Alan baru tersadar jika calon ayahnya itu sudah berdiri di dekat kursinya, mengasak pucuk kepala nya lembut sebelum akhirnya berlalu melangkah.
"Coba cek si Afka lagi apa. Kakak pikir mood-nya lumayan."
Si bungsu menggeleng pelan. "Justru itu, Kak. Jangan sampai mood Kak Afka malah down gegara diganggu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Akalanka 2
General FictionMasalah tak sepenuhnya hilang begitu saja; meninggalkan satu luka yang masih tersisa. Niatnya pergi untuk menyembuhkan sisa luka. Namun, hal yang wajar bukan jika rencana seringkali tak sejalan dengan realita? Sisa lukanya memang sudah hilang sempur...