Lembar Kedua Puluh Satu

150 15 2
                                    

Seminggu yang lalu adalah kali terakhir sosoknya berbicara dengan Afka; sejak peristiwa tak terduga yang membuatnya pada akhirnya tak berani bahkan hanya untuk mendekat saja. Dua hari Afka tak ia jumpai di kelas. Denta berkata bahwa ia tak perlu khawatir sebab Afka hanya butuh waktu. Terbukti, setelah dua hari  tak mendapati presensi Afka di kelas, presensi kakaknya akhirnya tertangkap indra penglihatannya. Dari yang tampak Afka tak berbeda dari biasanya, tapi Alan pikir banyak hal tersirat yang tak ia tahu. Sosoknya berani menduga sebab ia juga bertahun-tahun melakukannya.

Ingin rasanya mendekat. Tapi, tidak! Sekali lagi, Alan mau berpikir logis. Ucapannya tak akan didengarkan, apalagi maaf darinya. Peristiwa kemarin sudah cukup memperingatkannya bahwa kakaknya jauh lebih baik tanpa dirinya. Permintaan Afka itu benar adanya. Kakaknya lebih tahu jika dirinya sendiri butuh dijauhi olehnya. Kalau begitu, apa ia yang terlalu pemaksa dan keras kepala? Lucu memang, membuat sosok manis itu kadang tersenyum miris dengan hati yang meringis perih.

Iya, manusia itu memang dinamis. Apalagi pola pikir dan perasannya. Seiring waktu, baik cepat atau lambat, pasti ada unsur yang berubah. Kemarin bisa saja seseorang begitu memperhatikanmu, menyayangimu setulus hati, mencurahkan segala hal untukmu tanpa memperhitungkannya. Lantas, setelahnya semuanya berubah, berbalik memperlakukanmu dengan hal yang begitu kontras. Begitupun sebaliknya. Itu hal yang lumrah terjadi. Seseorang mungkin sudah menyadari dan siaga dengan hal-hal seperti barusan sebelumnya. Namun, kontrol manusia pun juga dipengaruhi hati dan pikirannya; yang berarti sama-sama dinamisnya.

Sekali lagi, itu lumrah selagi diikuti alasan yang masih bisa diterima hati dan logika. Namun, jangan lupa jika ada faktor lain yang memengaruhi. Bagaimana jika psikis seseorang itu tengah tak baik-baik saja? Apakah alasan yang tidak bisa diterima hati dan logika itu masih harus dimaklumi?

"Gue nggak nyangka Afka bisa seberubah ini. Kemarin-kemarin gue nyapa orangnya masih balik nyapa, ya kayak biasa. Meski kelakuannya emang banyak berubah setahun lalu sih, Lan."

Alan tak bisa membalas. Persoalan terkait kakaknya, Candra yang memulai bercerita. Mau membalas, sosoknya tak mungkin bisa menjawab dengan gamblang. Padahal dari yang ia lihat dan dengar, sikap dan perilaku Afka tak jauh berubah dari yang ia saksikan setelah kepulangannya. Kesimpulan sementara, mungkin perubahan kakaknya sebab peristiwa seminggu yang lalu? Dan perubahan itu ditujukan pada orang-orang yang kakaknya anggap memihaknya?

"Eh, soal ketikan si Angga di grup, bisa kapan? Denta sih bilang kapan-kapan bisa. Tapi, nyatanya sekarang sibuknya bukan main. Gue masih nggak nyangka padahal dulu tuh anak keluar kelas kalau ke kantin atau eskul musik doang."

"Weekend bisa, Kak. Mau Sabtu apa Minggu, ntar tanya yang lain."

"Oke, ntar gue coba ajak si Afka lah. Siapa tau tuh anak mau." Candra sudah mengembalikan buku bacaannya ke rak semula. Cowok itu lantas meraih kertas dan tempat alat tulisnya. "Gue balik, bentar lagi bel. Kelas lo enak deket perpus."

"Tukeran kelas mau?"

Candra terkekeh pelan sebelum akhirnya menggeleng. Cowok itu berjalan menjauh mencari pintu keluar.

Hembusan nafas tak tenang lirih terdengar. Jika dulu sosoknya singgah ke perpus selain untuk membaca dan belajar adalah menemani kakaknya, maka sekarang ia ke perpus justru untuk menghindar. Padahal tanpa menghindar pun, kakaknya itu justru lebih lihai tak menganggaonya ada. Miris memang.

"Alan, lo di sini ternyata. Untung gue nggak nyamper kantin dulu." Suara Cava terdengar bersamaan presensi gadis itu yang nampak di hadapan mata.

"Kenapa, Va?"

"Dicari Bu Rila. Disuruh ke kantor nemuin beliau katanya. Gue tadi juga dipanggil, sih, sama Jati. Si Afka juga barusan otw ke sana."

Sosoknya kini terdiam. Bukan tengah memikirkan alasan kenapa ia dipanggil  justru lebih memikirkan nama sosok yang barusa disebut gadia di hadapannya.

Akalanka 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang