Lembar Kedua Puluh Dua

143 15 0
                                    

Manik mata teduh itu bergerak tak nyaman, acapkali melirik ke arah samping belakang. Sedari pagi, ketenangannya telah diinterupsi wajah pucat sosok lain yang begitu kentara terlihat. Alan sudah yakin jika kondisi sosoknya benar-benar tidak baik. Dan rasanya sesak sebab tak ada satu orang pun yang aware akan hal itu. Ataukah memang ada, tapi dasarnya Afka yang keras kepala?

"Afka, apa kamu sakit, Nak?"

Suara Bu Rila akhirnya bisa sedikit membuat sosoknya lega. Tampak jika perempuan paruh baya itu kini mendekat ke tempat Afka duduk.

"Istirahat di UKS ya?"

Tak ada jawaban yang terdengar. Namun, anggukan Afka benar-benar berefek besar pada kelegaan yang akhirnya mampu Alan rasakan.

"Salah satu ada yang bisa nemenin?"

"Saya bisa sendiri." Meski lirih, suara itu masih mampu didengar berkat heningnya suasana, membungkam beberapa mulut yang baru akan berkata.

Bu Rila nampak mengangguk. Wanita itu mengantarkan sampai depan pintu kelas. Namun, tak berangsur lama, pekikan Bu Rila yang dengan keterkejutannya mungucap asma Allah membuat yang lain panik. Beberapa masih diam di tempat dengan kebingungannya dan beberapa lagi refleks berlari keluar kelas mengikuti Bu Rila.

Tiga siswa cowok membawa tubuh yang luruh ke lantai dengan cekatan. Bu Rila sendiri mengintruksikan pada siswa yang lain agar kembali ke kelas dan tetap tenang, sementara beliau menyusul ke ruang UKS.

"Ibu mau telfon walinya, tolong ya salah satu nunggu sampai dokter selesai. Nanti Ibu kembali lagi."

Jelas Alan menawarkan diri untuk tetap tinggal. Cowok itu duduk di kursi tunggu dengan deru nafasnya yang memburu, sisa kepanikan dan kelelahan setengah berlari barusan. Telapak tangan yang teraba dingin itu meremat satu sama lain.

"Teman pasien Afka?"

Alan mengangguki pertanyaan dokter barusan.

"Afka sudah siuman, tapi kondisinya memang masih lemas. Sangat boleh ditemenin, asal jangan diajak ngobrol banyak dulu."

Alan mengangguk, mengucap kata terima kasih pada dokter yang sudah membantu. Tak berangsur lama setelah dokter di hadapannya berlalu, keluar perawat muda yang tersenyum ramah menghampirinya. "Temannya ya? Tadi dokter udah periksa dan kasih penanganan, untuk lebih lanjut nanti Mbak sampaiin ke Bu Rila dan walinya ya. Kalau mau nemenin masuk aja, Dek."

"Makasih, Sus."

"Sama-sama."

Tirai yang sedari tadi tersibak membuka-menutup itu sudah ada di depan matanya. Namun, langkah teramat pelan itu akhirnya berbalik. Alan memang ingin, tapi mengingat jika tindakannya mungkin justru membawa dampak buruk, sosoknya akhirnya kembali ke tempatnya semula menunggu. Begini akan lebih baik, mengawasi dari jauh dan membiarkan Afka tetap beristirahat.

"Alan, kamu bisa kembali ke kelas mengerjakan tugas dengan yang lain. Ibu akan nunggu di sini sampai walinya datang. Oh iya, ibu lupa. Tolong tasnya Afka bawain ke sini dulu ya!"

Lagi, sosoknya hanya bisa mengangguk lantas pamit. Rasanya seperti pengecut. Namun, biarlah perasaan itu ia nikmati sendirian. Daripada harus mengambil langkah menunjukkan kekhawatiran dan kepeduliaannya, namun tindakannya justru dianggap pembohongan belaka. Bukan egois 'kan? Itu ia lakukan untuk kebaikan bersama, justru mengenyahkan keinginan hatinya.

"Eh, Afka gimana, Lan?" Beberapa pertanyaan dengan inti yang sama banyak dilemparkan teman-temannya. Alan hanya bisa menjawab sesuai yang dikatakan dokter dan perawat padanya. Lantas, berjalan ke meja Afka, membereskan beberapa barang yang ada di atas meja dan laci meja. Lagi, sosoknya kembali ke UKS membawa tas hitam itu.

Akalanka 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang