Lembar Kesepuluh

116 9 0
                                    

Level hening itu kian menanjak terasa ketika mobil yang Praksa kemudikan memasuki jalan beraspal yang biasanya memang sepi. Pria itu beberapakali mencoba membuka suara. Ya, memang ada jawaban dari sosok di sampingnya, tetapi hanya sekadarnya dengan bonus senyum tipis di akhir.

Praksa memang belum lama mengenali sosoknya. Namun, banyaknya cerita dari yang lain membuat pria itu semakin percaya dengan kesan pertama saat ia bertemu sosoknya. Dan, dari situ ada hal yang membuat Praksa merasa tak diuntungkan. Anak itu tipe orang yang tak bisa langsung terbuka dan cukup segan dengan orang yang belum lama dikenal. Meski anak itu sering melempar senyum dan ramah terhadap orang baru, Praksa tahu jika itu hanyalah bentuk perilaku sopan yang sudah tertanam dalam diri sosoknya.

Semua perlu waktu. Tapi, percayalah, Praksa bukanlah manusia yang pintar mengambil hati anak kecil atau remaja sekalipun. Bahkan, pria itu sempat berpikir, apakah itu balasan dari Tuhan untuknya? Sehingga hampir delapan tahun lamanya menikah dengan wanita yang juga hampir berselisih delapan tahun usianya dengan dirinya belum juga dikaruniai keturunan? Atau kah mungkin hal itu adalah buah yang ia tuai dari perlakuan kejamnya terhadap sosok di sampingnya dahulu? Entahlah, tapi Praksa sudah sadar diri untuk menerimanya. Namun, kini pria itu cenderung percaya dengan prasangkanya. Sebab, nyatanya ketika masalah masa lalu itu menemukan titik temu, Tuhan juga memberikan kepercayaan itu padanya. Atau justru sebab rasa sayang Tuhan pada istrinya yang terlalu baik itu? Sekali lagi, entahlah. Praksa merasa bahwa yang kini harus ia lalukan adalah menjadi manusia yang lebih baik. Itu adalah hal paling masuk akal yang dapat ia lakukan sebagai bentuk rasa syukur atas segala hal dan kesempatan yang masih diberikan Tuhan untuknya.

"Jalan di sini selalu sepi ya, Om?"

Tanpa sadar, sudut bibir pria itu tertarik ke atas. Baru kali ini anak itu kembali memulai pembicaraan. Praksa tidak akan membuang kesempatan itu. Tekadnya untuk terus berusaha dan belajar melebur dengan sosoknya semakin besar. Setahun yang lalu rencananya memang belum berhasil, tetapi kali ini Praksa yakin dapat membangun hubungan yang selayaknya dengan sosok yang kini menatapnya, menunggu jawabannya.

"Kalau sore memang sepi. Tapi tidak kalau lewatnya pagi," ujar Praksa apa adanya.

"Kamu tau karena apa?" Sambung pria itu bertanya balik.

"Jadi jalan alternatif?"

Pria itu mengangguk sekali. "Jalan utama padat bin macet 'kan? Kalau pagi, banyak yang lebih memilih lewat sini. Tapi, jatuhnya juga tidak jauh beda. Semua sama-sama padat, tidak dijamin kalau lewat sini lebih cepat."

"Jadi padat sama macet masih sedarah ya?"

Praksa tersenyum tipis. "Om curiga selera humormu dengan Om sama."

Anak itu nampak menahan senyumnya. "Tapi ya, Om. Banyak, loh, yang bilang kalau aku receh."

"Receh bukan masalah. Kalau jumlahnya sekarung juga bisa cukup buat makan setahun."

Berhasil. Senyum anak itu merekah. Entah mengapa kali ini senyum itu terlihat benar-benar bernyawa jika dibandingkan senyum yang sering sosoknya berikan untuknya. Obrolan itu terus berlanjut sampai akhirnya mobil itu terparkir.

Isak tangis itu, Praksa mendengar dengan jelas. Meski ia tahu jika sosoknya berusaha mengontrol, tetap saja hal itu tak bisa penuhnya terkontrol. Keadaan anak itu tak lebih baik dari saat mendengar kabar kematian di rumah sakit setahun lalu. Rasa sakit itu turut menjalar pada dadanya, menciptakan rasa perih yang kian menjadi setiap isak yang berusaha dibendung sosoknya lagi-lagi jebol begitu saja. Jika sakit yang mejalar pada dirinya saja seperti ini? Bagaimana sakit itu terasa di pusatnya? Oleh sebab itu, selain untuk memberikan waktu dan ruang, Praksa juga memilih pergi sebab ia tak bisa jika terus berada di sana; memilih memberitahu sosoknya bahwa ia akan menunggu di mobil.

Akalanka 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang