Panasnya sang surya mulai redup kala pintu gerbang sebuah sekolah dasar dibuka dan seluruh muridnya berhamburan keluar dari dalam gedung tak lama kemudian. Beberapa orang tua wali murid sudah menunggu di depan gerbang untuk menjemput putra putri mereka. Suara tawa riang khas anak-anak mulai terdengar memekakkan telinga. Buat sang penjaga sekolah harus dengan sabar tutup telinga dari bisingnya teriakan anak-anak dengan masih sunggingkan senyum ramah.
Seorang anak laki-laki tampak tetap berjalan dengan santai di tengah terjangan teman-temannya yang ingin buru-buru pulang dan nikmati sisa hari bersama keluarga. Ia berjalan dengan kepala tertunduk menatap tanah. Tangan-tangan kurusnya berpegangan erat pada tali tas punggungnya yang berukuran lebih kecil jika dibanding dengan ukuran tas temannya yang lain.
Di luar gerbang ia lantas duduk di sebuah bangku di bawah pohon untuk berteduh. Matanya menelisik kegembiraan yang dipancarkan setiap anak yang bertemu dengan ayah atau ibunya di luar gedung sekolah. Kaki pendeknya yang menggantung ia ayunkan pelan guna hilangkan kebosanan selama menunggu orang yang akan menjemputnya.
Sang satpam sekolah hanya perhatikan anak laki-laki tersebut dari kejauhan. Sudah barang pasti terbiasa dengan anak kelas satu tersebut yang selalu pulang paling akhir. Ia tak berniat menegur atau ajak bicara si anak kecil. Barang kali sadar sudah bahwa pertanyaannya akan diabaikan nantinya oleh si kecil.
"Jeongwoo! Belum dijemput ya." Salah seorang gadis kecil datang menghampiri. Yang dipanggil Jeongwoo hanya diam memandang teman sekelasnya tersebut; tidak merespon walau hanya sebuah anggukan atau gelengan kepala.
"Yuna! Ngapain ngomong sama orang bisu, Jeongwoo kan gak bisa bicara. Dia gak akan jawab kamu, lihat saja." Salah satu temannya yang lain berteriak dari kejauhan. Buat si gadis kecil beralih tatap Jeongwoo dengan tatapan iba. Namun ia tak tunjukkan rasa ibanya begitu sadar semasa bodoh apa Jeongwoo terhadap ejekan temannya tersebut.
"Jeongwoo, jangan sedih ya. Maaf karena teman-teman sering katain kamu, nanti kita temenan, ya!" Yuna ulurkan tangan kanannya, mengharap sebuah jabatan tangan tanda diterimanya ajakan pertemanannya.
"Yuna! Sedang apa? Ayo segera pulang!"
Ibunya berteriak memanggil. Yuna segera alihkan perhatian, kemudian tinggalkan Jeongwoo begitu saja karena Jeongwoo yang tak juga kunjung terima ajakannya. Yuna berlari cepat menghampiri sang ibu dan kemudian menggandeng tangan besar ibunya, lantas berjalan beriringan dengan sesekali melompat karena merasa senang dengan obrolannya dengan sang ibu.
Dari kejauhan, Jeongwoo diam-diam menatap iri pada bagaimana bahagianya Yuna dapat nikmati rasanya memiliki seorang ibu yang begitu perhatian dan cantik. Pandangan matanya lantas kembali pada tanah, diam dan merenungi nasib dirinya sendiri.
"Jeongwoo!"
Ketika rungunya menangkap sebuah suara familiar kepalanya dengan cepat mendongak. Kaki-kaki kecilnya lantas melompat turun dari bangku dan dibawa melangkah cepat menghampiri yang lebih tua.
Jihoon, lelaki dengan paras tampan cenderung manis itu berjongkok guna sejajarkan tinggi dengan Jeongwoo. Kedua tangannya usap pelan wajah penuh keringat Jeongwoo. "Kamu udah nunggu lama ya, maaf ya, tadi ada banyak orang jadi harus selesaikan pekerjaannya dulu."
Beda dengan hari-hari sebelumnya, kini Jeongwoo tampak mengangguk walau samar. Jihoon tersenyum senang melihat adiknya yang sudah mulai mau merespon percakapannya. Senyumnya terulas manis namun ada getir yang tersamarkan di sana. Ia berusaha sembunyikan perasaannya yang sesungguhnya dari adik kecilnya yang belum tahu apa-apa.
"Gimana sekolahnya? Seru?"
Seperti biasa, ketika sebuah pertanyaan mengenai bagaimana hari yang ia jalani di sekolah terdengar maka kepalanya akan ia tundukkan dan tidak menjawab. Jihoon kembali berusaha tunjukkan senyum maklum. Benaknya kembali dibawa berkelana pada beberapa hari lalu ketika wali kelas Jeongwoo memanggilnya untuk membicarakan mengenai perkembangan Jeongwoo di sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Subjektif [ yoshihoon ]
FanfictionB O Y S L O V E [ COMPLETED ] Pertama kalinya menghadapi dunia, tetapi semesta kerap pertemukannya dengan duri beracun yang begitu ingin matikan langkahnya. Jika hidup dengan label kepemilikan orang lain adalah jalan terbaik, maka di sanalah ia akan...