Bagian 3

1.4K 254 4
                                    

Tok

Tok

Tok

Tangan kurusnya yang berhias sebuah gelang bermaik itu terus mengetuk pintu dengan ritme cepat. Ia sudah cemas karena sejak semalam tak melihat Jihoon pulang. Ia khawatir telah terjadi hal buruk makanya ia segera mendatangi rumah kecil ini sebelum ibunya melihatnya.

"Jeongwoo! Kamu di dalam kan? Ini kak Sana, tolong bukakan pintunya ya." Sana berusaha memanggil. Tak ada sahutan dari dalam sana, namun terdengar suara kunci pintu yang diputar tak lama setelah ia memanggil.

Anak laki-laki yang baru memasuki usia kedelapannya itu terlihat bersembunyi di balik pintu. Matanya mengintip untuk memastikan siapa yang datang dan begitu melihat kehadiran Sana, ia lantas segera keluar dan menghambur memeluk kaki jenjang Sana yang hanya kenalan celana pendek di atas lutut.

Sana kemudian berjongkok dan menatap wajah sendu Jeongwoo. Jemari lentiknya mengusap wajah kecil Jeongwoo yang terlihat ada begitu banyak jejak air mata. Sana lantas mengajak Jeongwoo untuk segera masuk ke dalam rumah. Pintu kembali dikuncinya dari dalam.

"Jeongwoo, kakakmu benar-benar tidak pulang? Apa yang terjadi? Apa Ayahmu datang lagi?" Sana berusaha bertanya setelah mendudukkan Jeongwoo di atas sofa. Namun anak kecil itu tak bersuara sedikit pun, ia hanya menggeleng lemah setelah beberapa saat.

Sana menghela nafas gusar. Seharusnya ia tahu bahwa akan percuma bertanya pada Jeongwoo. "Ya sudah, kamu masih harus pergi ke sekolah kan? Sana mandi. Biar kakak siapkan sarapan untukmu."

Jeongwoo menurut dan dengan cepat turun dari sofa. Langkah kaki kecilnya dibawa berlari menuju kamarnya untuk mengambil handuk dan kemudian pergi mandi seperti perintah Sana. Kini giliran Sana yang berjuang di dapur kecil Jihoon yang isinya juga sangat terbatas. Ketika kulkas dibuka, Sana mengerang kesal begitu hanya dapati dua butir telur dan beberapa sayur hijau yang sudah mulai layu dan membusuk di ujung daunnya.

"Bagaimana mereka bisa bertahan hanya dengan ini?" Sana merasa iba namun jika melihat kehidupannya sendiri, maka ia juga butuh dikasihani atas setiap tekanan yang didapatnya setiap hari.

Sana mengambil satu butir telur setelah ia tahu bahwa masih ada nasi yang bisa dimakan. Jeongwoo kembali setelah Sana selesai sajikan sepiring nasi dengan telur dadar ke atas meja. Sana mendengus melihat Jeongwoo masih belum bisa kacingkan kemejanya sendiri.

"Astaga, apa Jihoon tidak mengajarimu cara memakai seragam sekolahmu dengan benar? Dia harusnya mengajarimu caranya hidup mandiri." Sana berucap seraya tangannya dengan telaten mengancingkan kancing seragam Jeongwoo dan membantunya merapikan penampilannya.

"Sudah, sana makan."

Jeongwoo berlari menghampiri meja. Piringnya ia bawa ke pinggir meja, lalu duduk melantai dan makan dengan hati-hati. Sana mengerutkan kening melihatnya.

"Hei, kenapa kamu duduk di lantai? Duduk sini di sofa." Sana meminta Jeongwoo duduk di atas, namun anak itu sama sekali tak mendengarkan. Akhirnya Sana membiarkannya seperti itu dan menunggu Jeongwoo selesaikan makannya dengan sabar.

"Ayahmu itu memang bajingan. Bisa-bisanya dia berusaha mendapatkan uang dengan menjual putranya sendiri. Kau jangan sampai terlibat dengan si bajingan itu, ingat. Lari saja kalau dia datang lagi." Sana berucap penuh penekenan rasa kesal sementara tangannya justru mengelus lembut rambut pendek Jeongwoo.

Sana tak sadar telah buat Jeongwoo merasa takut. Tangannya kini bahkan ragu untuk teruskan suapan sarapannya. Bibirnya dikulum guna menahan tangisannya yang hampir keluar lagi. Semalaman ia menangis sampai tertidur karena Jihoon yang tak kunjung kembali dan ketakutan karena berada di rumah sendirian. Dan kini ia kembali merasa takut karena ucapan Sana barusan.

Subjektif [ yoshihoon ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang