Sore itu angin bertiup lebih kencang terbangkan dedaunan yang gugur dan kelopak-kelopak bunga nawar merah dan putih yang ditaburkan ke atas gundukan tanah. Satu penanda dari kayu di tancapkan di atas tanah. Dua orang beda usia terlihat duduk berjongkok di sampingnya dengan wajah murung yang sama, sedangkan satu lagi pria berkacamata hitam hanya berdiri diam di belakangnya.
Tangan kecil Jeongwoo mengambil kembali beberapa kelopak bunga yang beterbangan dan jatuh di dekat kakinya, kemudian meletakkannya ke atas gundukan tanah tadi. Tak ada air mata yang mengalir, namun sisa jejak kesedihan masih terlihat jelas pada gurat wajah keduanya. Jeongwoo mengangkat wajah, menatap satu lagi gundukan tanah yang kini telah sepenuhnya tertutup rumput hijau. Kayu penanda di atasnya telah usang sedikit dimakan rayap. Usia makam yang itu pasti sudah hampir sepuluh tahun, sama sepertinya.
Suara derap langkah kaki yang berlari di atas tanah alihkan atensi Jeongwoo dari kedua makam di depannya untuk menoleh ke belakang. Jeongwoo tak lagi terkejut atau bertanya-tanya dalam diam mengapa Minjeong bisa berada di sini. Wanita cantik dengan penampilan anggun dengan blazer merahnya yang mengikuti di belakang Minjeong itu sudah pasti ibu Minjeong yang mengantar Minjeong setelah Minjeong menangis minta bertemu dengan Jeongwoo yang tak ditemuinya di panti.
Minjeong ikut berjongkok di samping Jeongwoo. Sesaat ia menatap sepatu merah jambunya yang kotor oleh tanah namun kemudian segera abaikan hal itu dan beralih mendongak menatap Jeongwoo. "Kak Jeongwoo pasti sedih." Ucapnya dengan suara berbisik pelan. Tak ada alasan baginya untuk rendahkan suaranya selain peringatan dari ibunya tadi yang memintanya untuk tidak berisik.
Minjeong mengulurkan lengannya, lingkari punggung kecil Jeongwoo dan menepuknya pelan; berusaha bersikap seperti orang dewasa sebagaimana ia sering lihat kakeknya lakukan pada neneknya di rumah. "Papinya Minjeong juga udah pergi, padahal Minjeong belum pernah ketemu. Sedih deh."
Jihoon yang sejak tadi diam-diam mendengarkan percakapan sepihak itu sedikit terkejut mendengar pernyataan Minjeong barusan. Gadis lima tahun itu masih pasang wajah sedih seperti ia juga tengah berduka sama seperti Jeongwoo. Jihoon lalu berbalik, menoleh menatap Karina yang berdiri di kejauhan dengan angkuhnya.
Surya semakin turun. Mau tak mau ia harus segera beranjak dari sana. Yoshi mengendarai mobilnya kembali ke panti untuk mengantar Jeongwoo. Di belakangnya mobil Karina juga mengikuti. Yoshi tetap di dalam mobil sementara Jihoon keluar untuk mengantar Jeongwoo. "Jeongwoo gak papa kan kalau tetep di sini dulu? Kakak gak bisa bawa Jeongwoo ikut kakak..." Jihoon berucap penuh sesal. Sayangkan dirinya yang tak berani bertanya pada Yoshi apakah ia boleh membawa Jeongwoo untuk sementara bersamanya karena adiknya ini pasti masih berduka.
Jeongwoo mengangguk. "Jeongwoo gak papa kok." Jawabnya kemudian dengan yakin, berusaha buat kakaknya berhenti khawatir padanya. Namun Jihoon tetaplah Jihoon yang akan merasa khawatir akan hal yang tak perlu.
"Kak Jeongwoo!" Minjeong turun dari mobilnya begitu Karina memberi izin. Ia segera hampiri Jihoon yang masih mengobrol dengan Jeongwoo. "Hari ini Minjeong bakal temenin kak Jeongwoo di sini!" Ucapnya lagi penuh semangat.
Jihoon menatap ragu. "Minjeong udah izin?" Tanyanya kemudian yang langsung dapat anggukan kepala dari Minjeong.
"Mommy udah bolehin kok. Tante yang punya panti juga udah bolehin. Tadi Minjeong izin bareng Mommy loh! Minjeong yang ngomong sendiri ke tante panti." Minjeong menjelaskan dengan senang hati, bersemangat karena ia baru saja lakukan hal seperti orang dewasa sendirian. Walaupun Karina tetap mengawasinya dari dekat.
"Tapi Minjeong mau tidur di mana? Ibu panti kasih kamar sendiri?" Jihoon kembali bertanya karena ia tahu bahwa panti ini sedikit sulit berikan fasilitas tambahan jika ada orang yang ingin menginap sementara. Fasilitas tambahan pada salah satu anak panti juga akan menimbulkan keirian bagi yang lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Subjektif [ yoshihoon ]
FanficB O Y S L O V E [ COMPLETED ] Pertama kalinya menghadapi dunia, tetapi semesta kerap pertemukannya dengan duri beracun yang begitu ingin matikan langkahnya. Jika hidup dengan label kepemilikan orang lain adalah jalan terbaik, maka di sanalah ia akan...