8. Perasaan yang Berbeda

801 63 1
                                    

Setelah perdebatan panjang dan prahara rumah tangga, akhirnya Bariqi dan Elya duduk anteng dalam mobil. Elya masih menatap sinis ke arah Bariqi, pun dengan Bariqi yang tidak kalah sinis. Bariqi menatap Elya dari atas sampai bawah, teman-temannya selalu mengatakan kalau Elya adalah gadis polos, dan teman-temannya seolah menjadi garda terdepan dalam menjaga Elya. Namun, mereka tidak tahu kalau aslinya Elya tidak sepolos yang mereka kira. Elya saja sering menonton drama plus-plus, jelas otak Elya tidak polos lagi. Juga Elya bisa menjaga dirinya sendiri lebih baik dari orang lain.

Bariqi tampak menimang-nimang, pantas saja Elya jomblo akut, karena tingkah lakuknya saja lebih ganas daripada laki-laki.

"Kenapa lihat-lihat? Naksir?" tanya Elya sewot.

Bariqi menjitak kepala Elya dengan kencang membuat Elya balas memukul pundak Bariqi. Bariqi tidak diam saja, pria itu kembali memukul lengan Elya. Tentu saja Elya memukul dada Bariqi lebih kencang.

Tak!

Bugh!

Jrot!

Suara jitakan, pukulan dan tinjuan saling bersahutan dalam mobil sempit Bariqi. Kedua manusia beda kelamin itu sibuk bertengkar dengan bibir yang terkunci, hanya tangan yang bergerak untuk memukul satu sama lain.

"Rasain," umpat Elya menjambak rambut Bariqi.

"Akhhh ... aduh, jangan main jambak!" pekik Bariqi menahan tangan Elya. Mau dipukul sekeras apa, Bariqi masih punya toleransi, tapi kalau sudah rambut, bariqi tidak akan memaafkannya.

"Akhhh ... Bariqi jahat!" teriak Elya saat bariqi mencubit tangannya dengan kencang. Elya melepaskan tangannya dari rambut Bariqi, gadis itu mengelus tangannya yang memerah karena cubitan tangan Bariqi.

"Elya, kamu main jambak-jambak rambut orang," protes Bariqi.

"Kamu juga cubit tanganku!" sentak Elya tidak mau kalah.

"Kamu yang duluan jambak!" hardik Bariqi.

"Kalau kamu gak ngeselin aku juga gak akan jambak kamu. Dasar Bariqi sialan!" seru Elya kelewat kesal.

"Siapa yang kamu panggil Bariqi, hah?" tanya Bariqi menarik dagu Elya. Elya menepis tangan pria itu.

"Jelas kamu, siapa yang punya nama itu di sini selain kamu?" tanya Elya balik.

"Gak sopan banget jadi bocah," maki pria di samping Elya dengan sinis. 

"Enak saja panggil bocah," protes Elya lagi.

"Terus harus panggil apa? Baby atau Balita?"

"Dasar tua bangka, sono bawa tongkat buat alat bantu jalan," ketus Elya.

"Panggil Mas gitu, kek. Biar sama kayak saat kamu manggil Vino," ucap Bariqi menarik tangan Elya dan menggenggam tangan gadis itu, tetapi tidak bertahan lama karena Elya melepas genggaman tangan itu.

Elya memicingkan matanya menatap Bariqi, tidak ada angin tidak ada hujan, pria di hadapannya menyuruhnya memanggil 'Mas. Lidah Elya menolak menyebutnya, terasa gatal dan geli.

"Eh jangan ... jangan, jangan kayak manggil Vino. Panggilan yang beda," ralat Bariqi.

"Kamu apa-apaan sih?" tanya Elya.

"Cepat pikirin panggilan yang cocok!" titah Bariqi mengalihkan pembicaran. 

"Enak panggil Chef gitu saja," jawab Elya.

"Itu kan kalau di pekerjaan, di luar harus beda."

"Ya disamain saja."

"Gak enak. Jangan manggil Chef, jangan manggil Mas."

Galanga ChefTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang