15. Kepedulian Elya

678 48 1
                                    

"Mbak, orang tadi temen mbak? Kenapa gak disuruh masuk?" tanya Rafa saat mereka sudah masuk ke kamar Elya.

"Rafa, jangan pedulikan dia. Kamu duduklah, mbak ambilkan minum," ucap Elya. Rafa melihat raut Elya yang tidak baik-baik saja, kakak perempuan satu-satunya itu seolah tengah menahan tangisnya. Ada jejak air mata di pipi kakaknya.

"Nanti Rafa ambil sendiri, kakak makan saja ini," ucap Rafa menarik kakanya dan mengajak sang kakak duduk di ranjang dan membuka bolu kukus yang kakaknya taruh di ranjang.

Elya memalingkan wajahnya, gadis itu selalu berusaha menyembunyikan tangisannya dari sang adik. Namun Rafa memaksanya duduk untuk makan bolu kukus.

"Ini kan kesukaan Mbak. Kalau aku yang makan sendiri, nanti mbak ngamuk," ucap Rafa menyodorkan bolu kukus yang sudah ia buka.

"Kamu buat sendiri?" tanya Elya.

"Beli," jawab Rafa terkekeh.

"Eh biar aku suapi," ujar Rafa menarik kembali bolunya. Rafa mengambil pisau plastik yang ada di balik kardus dan memotong bolu itu. Rafa menyuapkan satu potong bolu pada sang kakak. Elya mendekatkan kepalanya pada Rafa, menerima suapan dari sang adik yang sangat ia rindukan.

Tangan Elya terulur mengelus puncak kepala sang adik, Rafa tersenyum kecil. Remaja itu ikut makan bolu kukus yang ia bawakan untuk kakaknya.

Tangan Elya menggoyangkan telinga sang adik seraya tertawa pelan. "Rafa, berjanjilah satu hal sama aku!" pinta Elya.

"Jangankan satu hal, banyak hal yang mbak ucapkan akan aku turuti," jawab Rafa.

"Jangan mengecewakan mbak," kata Elya menatap adiknya dengan pandangan lekat. Tatapan Elya sangat dalam, menusuk tepat mata Rafa. Rafa meletakkan kembali bolu kukusnya, remaja itu menganggukkan kepalanya.

"Tidak peduli kamu capek, pengen berhenti dan tidak peduli seberapa keras kamu berusaha, kamu harus tetap maju. Kamu boleh punya keinginan berhenti, tapi kamu tidak boleh benar-benar melakukannya. Kamu jangan pikirkan apapun lagi selain belajar, kamu tenang saja karena di sini mbak akan berjuang demi kamu," ucap Elya penuh pengharapan. Harapan satu-satunya yang ia miliki adalah adiknya.

"Kamu tahu kita dari keluarga tidak mampu, dulu mbak sangat ingin mengenyam bangku pendidikan tinggi, bekerja lebih layak dan bisa menggapai semua impian-impian mbak. Tapi mbak tidak punya kesempatan untuk melakukannya, tolong kamu jangan mengecewakan usaha mbak di sini," tambah Elya.

"Mbak capek?" tanya Rafa.

"Tidak. Tidak ada kata capek buat mbak. Mbak akan berjuang demi kamu. Jadi mohon kerja samanya, ya," elak Elya menggelengkan kepalanya.

"Tapi mata mbak mengatakan mbak capek. Selama ini mbak sudah berjuang demi keluarga kita, mbak juga sudah banyak relain waktu demi kerja keras untukku. Mbak gak perlu lagi melakukan itu, aku bisa cari kerjaan-"

"Jangan aneh-aneh. Kamu jangan pikirkan biaya apapun, Rafa. Mbak masih bisa melakukannya," sela Elya dengan cepat.

"Mbak, mbak harus mikirin diri sendiri juga. Sudah waktunya mbak bahagia, eum, minimal punya pacar agar mbak tidak kesepian di sini."

"Kamu ada-ada saja. Mbak bahagia dengan begini. Selagi kamu masih sekolah, mbak akan tetap berjuang demi kamu. Perjalanan kamu masih panjang, jangan sia-siakan waktumu yang nanti membuat kamu menyesal. Okey?" Elya mengacungkan jari kelingkingnya pada Rafa.

"Okey," jawab Rafa menyambut uluran jari kelingking kakaknya. Kedua jari kelingking itu saling bertaut.

"Tapi, Mbak. Sebenarnya aku bisa sambil bekerja," cicit Rafa pelan. Meski kakaknya tidak pernah mengeluh, entah kenapa perasaan Rafa tidak enak. Seolah mengatakan Elya tidak baik-baik saja.

Galanga ChefTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang