Bariqi menggelengkan kepalanya, dia merasa bahwa dirinya sudah gila. Hanya gadis kecil yang bahkan dilihat sekilas biasa saja, tetapi Bariqi bisa jatuh cinta sedalam ini.
"Kenapa tersenyum sendiri?" tanya Putri berdiri di depan pintu kamar anaknya.
Bariqi terkesiap, pria itu langsung bangun dan menatap ibunya, "Ibu, kenapa ibu masuk nggak ketuk pintu? Kalau aku sedang ganti baju bagaimana?" tanya Bariqi bertubi-tubi.
"Tapi kenyataannya kamu nggak sedang ganti baju, tapi kamu sedang senyum-senyum sendirian," jawab Putri terkekeh.
Bariqi malu bukan main, pria itu menarik selimut dan menyelimuti separuh tubuhnya. Putri melangkahkan kakinya mendekati Bariqi. Perempuan paruh baya itu duduk di ranjang anaknya. Tangan lembutnya mengelus puncak kepala Bariqi.
Entah kenapa tiba-tiba Putri merasa sedih. Bukan maksud apa-apa, tetapi anaknya yang dulu kecil kini sudah menjadi pria dewasa. Putri selalu ingin anaknya menikah, tetapi saat tadi Bariqi pulang mengatakan sudah melamar Elya dan ingin melamar secara resmi, Putri merasa hatinya berkecamuk.
Putri senang kalau Elya yang akan menjadi menantunya, tetapi Putri juga takut kalau anaknya tidak diterima di keluarga Elya. Bariqi sudah menceritakan tentang bagaimana perlakuan keluarga Elya kepada gadis itu.
"Bariqi," panggil Putri.
"Apa?" tanya Bariqi.
"Nggak nyangka kamu sudah sebesar ini," ucap Putri kembali mengelus puncak kepala anaknya.
"Kenapa? Ibu ingin aku kembali kecil dan nyusahin ibu? Aku juga ingin kecil lagi, Bu. Biar kalau minta apa-apa tinggal nangis dan ibu kasih ke aku," oceh Bariqi yang langsung mendapat jitakan ibunya.
Perasaan sedih yang tadi menyelimuti Putri langsung hilang seketika. Meski Bariqi sangat keras kepala dan terlihat acuh tak acuh di depan, kenyataan Bariqi sangat peduli. Saat melihat raut sedih ibunya, pasti Bariqi akan menenangkannya.
"Ibu, percayalah padaku kalau aku nggak salah pilih," ucap Bariqi memegang tangan ibunya.
"Ibu nggak takut kamu salah pilih, Nak. Hanya saja ibu takut kalau kamu nggak diterima di keluarga Elya," aku Putri jujur.
"Aku tidak masalah kalau ibu Elya tidak menyukaiku, Bu. Karena yang akan memberikan restu dan menjadi wali saat kami menikah adalah ayah Elya. Aku juga tidak menginginkan keluarga Elya memperlakukanku dengan baik, yang aku inginkan ibu dan ayah memperlakukan Elya dengan baik," oceh Bariqi bertubi-tubi.
"Ibu, seorang perempuan saat sudah menikah, di rumah keluarganya menjadi tamu, sedang di rumah mertuanya menjadi orang asing. Aku hanya ingin ibu menganggap Elya anak sendiri, menyayangi Elya sama seperti ibu menyayangiku. Aku tidak peduli bagaimana mereka memperlakukanku, tapi ibu harus memperlakukan Elya dengan baik. Berjanjilah kepadaku, Bu!" pinta Bariqi.
Bariqi si pria garang dan keras kepala, sebenarnya hati Bariqi sangat mudah perasa. Apalagi kalau itu menyangkut Elya. Yang dikatakan Bariqi benar adanya, dia sama sekali tidak peduli meski ibu dan adik Elya tidak menyukainya. Yang terpenting dia akan membahagiakan Elya semampu yang Bariqi bisa, dan dia ingin ibunya memperlakukan Elya dengan baik.
Bariqi percaya kalau Tuhan sangat adil. Segelintir orang memperlakukanmu tidak baik, tetapi segelintir lagi akan memperlakukanmu seperti ratu.
"Bariqi, kamu harus percaya juga sama ibu. Kalau ibu akan menyayangi kalian berdua secara sama," ucap Putri memeluk tubuh anaknya.
Bariqi balas memeluk tubuh ibunya dengan erat. Ini kali pertamanya Bariqi mau dipeluk ibunya setelah usianya delapan tahun. Saat Bariqi berusia delapan tahun, Bariqi terus merengek kepada ibunya saat ibunya mau memeluknya. Bariqi malu dipeluk dan risih. Namun, sekarang berbeda. Saat ini Bariqi juga merindukan pelukan ibunya.
Sebentar lagi Bariqi bukan hanya bertanggung jawab kepada dirinya sendiri, melainkan bertanggung jawab kepada anak orang. Bariqi sangat menantikan di mana hari itu tiba. Bariqi juga sudah mengatakan kepada Elya untuk memberitahu orang tuanya kapan Bariqi bisa datang secara resmi.
Di sisi lain, Elya tengah menelpon ayahnya dengan panggilan video. Elya sudah mengatakan kepada ayahnya bahwa Bariqi ingin melamarnya secara resmi. Ayah Elya senang bukan main, terlihat sekali binar kebahagiaannya.
"Yah, Mas Bariqi sangat baik. Saat aku pertama datang, meski mulutnya sangat pedas, dia tetap perhatian, membelikanku banyak jajan, membelikanku makanan dan selalu menjemputku untuk kerja. Baik banget pokoknya," oceh Elya bertubi-tubi.
"Ayah lihat sendiri kan, dia juga ganteng. Pasti bisa memperbarui keturunan," tambah Elya lagi. Elya terkikik geli dengan ucapannya sendiri.
Terdengar tawa renyah dari ayah Elya. "Ayah ikut kamu, Elya. Kamu suka sama Bariqi dan kamu yakin sama Bariqi, ayah akan mengijinkan. Elya, jangan pikirkan ayah dan ibumu, sudah saatnya kamu mengejar kebahagiaan kamu. Suruh Bariqi dan orang tuanya cepat datang," ucap Rahman.
"Tapi bagaimana dengan Rafa?" suara itu terdengar di telinga Elya.
"Rafa ayah yang urus. Mending kamu diam dan nggak usah menyusahkan anak kamu lagi. Kalau kamu terus keras kepala, mending Rafa tidak usah sekolah. Rafa dan Elya sama-sama anak kita, bagaimana bisa kamu memperlakukan semuanya secara tidak adil?" tanya Rahman kepada sang istri.
"Aku sudah adil, Yah. Sekarang posisi kita sama-sama sedang sulit. Aku dan kamu bekerja keras demi melunasi hutang kita di masa lalu saat Elya kecil keluar masuk rumah sakit, sudah belasan tahun hutang itu belum lunas, dan Elya bekerja untuk Rafa. Semuanya impas. Bagaimana bisa kamu menyebutku tidak adil?" sentak ibu Elya.
Elya mendengarnya dengan jelas, perempuan itu tercenung mendengar ucapan sang ibu. Sumpah demi apapun Elya tidak pernah tahu apa-apa tentang hutang yang dimiliki ibunya.
"Kamu juga tahu sendiri kalau kita kesusahan di sini. Saat penagih hutang itu datang, bahkan mereka membawakan kayu dan ingin memukulku. Aku hanya minta dia bersabar sebentar sampai Rafa bisa sekolah. Kita sama-sama berjuang untuk melunasi ini, Yah. Aku bekerja untuk melunasi hutang, sedangkan kamu bekerja untuk biaya makan dan Elya untuk Rafa. Semuanya imbang," jelas ibu Elya lagi.
"Yah, hutang apa?" tanya Elya pelan.
"Lupakan saja, Nak. Itu bukan urusanmu. Jadi, bagaimana? Kamu sudah mengenal dekat orang tua Bariqi, kan?" tanya Pak Rahman mengalihkan pembicaraan.
"Yah, jawab aku. Hutang apa, Yah? Aku sakit apa?" tanya Elya.
"Elya, orang tua yang bertanggung jawab atas anaknya. Sekarang ayah merasa berhasil membesarkan kamu. Kamu tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik dan baik, ayah selalu mendoakan kamu berjodoh dengan pria baik, dan sekarang jodoh kamu sudah tiba. Mana cincin yang diberikan Bariqi? Ayah mau lihat!" oceh Pak Rahman.
Elya mengangkat tangannya yang ada cincin manis melingkar di jari manisnya, "Ini, Yah. Bagus, kan?" tanya Elya.
"Bagus banget. Dijaga dengan baik, ya. Jangan sampai hilang. Ayah mau cari tanggal dulu, nanti kalau ayah sudah nemu tanggal baiknya, kamu kasih tau Bariqi untuk datang di tanggal itu bersama keluarganya," ucap Pak Rahman.
Elya mengangguk, setelahnya Pak Rahman menutup panggilannya. Elya menatap hpnya yang kini menampilkan wallpaper foto dirinya dan Bariqi. Perasaan Elya berkecamuk, ingatan masa lalu merasuki otak Elya. Elya ingat pernah terbaring lama di rumah sakit, tetapi ingatan itu tidak semuanya dia ingat, hanya beberapa penggalan kecil yang terasa semu.
Ucapan ibunya mengganggu Elya. Ibunya pernah mengatakan punya hutang, tetapi tidak pernah menjelaskan secara gamblang. Hati Elya bagai teriris saat mendengar pengakuan ibunya. Elya tiba-tiba merasa ragu untuk melangkah lebih lanjut, tetapi di sisi lain takut kalau dia tidak segera mengiyakan permintaan Bariqi, Bariqi akan bersama gadis lain.
Melihat Bariqi dekat dengan Sera secara profesional saja Elya sudah sakit hati, apalagi kalau melihat Bariqi dengan perempuan lain, Elya tidak pernah siap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Galanga Chef
RomanceBariqi Galanga, seorang executive chef yang sangat galak. Dalam satu bulan, pria itu bisa berganti asisten delapan belas kali. Saking galaknya, banyak orang yang angkat tangan dengan pria itu. Hingga, Bariqi tertarik dengan seorang gadis yang bekerj...