6. Nasib Sial

836 59 1
                                    

Elya bangun cukup pagi hari ini, gadis itu segera membersihkan diri dan melakukan kewajiban subuhnya. Setelah selesai, Elya bersenandung pelan, menyanyikan lagu-lagu cinta kesukaannya. Tadi malam memang menjadi malam yang menyedihkan untuk Elya, tapi pagi ini menjadi pagi yang indah untuk Elya. Pasalnya hari ini adalah hari selasa, dimana si bosnya jadwalnya off. Hari selasa menjadi hari yang paling ditunggu Elya selain senin. Tidak bertemu bosnya sehari sudah membuat otak Elya rasanya fres bagai healing di tempat yang indah. 

“Akhhh tidak bertemu Si Anjing yang sering menggonggong itu rasanya sangat senang,” ucap Elya menguncir rambutnya dengan rapi. Gadis itu sudah siap dengan seragam kokinya, tanpa sarapan atau memakan apapun, gadis itu segera keluar dari kamarnya. 

Mata Elya membulat sempurna saat membuka pintu, ia melihat ada dua kardus besar di depan pintu messnya. Mata gadis itu mengarah ke samping kanan. Elya terkejut melihat seorang pria tengah tidur di kursi seraya menutup wajahnya dengan topi jaket.
Tanpa menatap lebih detail, Elya sudah mengenali siapa gerangan orang yang tengah duduk di sana. Elya segera menghampiri Bariqi, gadis itu membuka topi jaket bosnya. 

“Chef, kenapa Chef tidur di sini?" tanya Elya menepuk pipi Bariqi. Tawa Elya hampir menyembur saat melihat pipi Bariqi yang merah, terlihat sekali kalau pria itu kedinginan. 

“Chef, bangun!” Elya menepuk-nepuk pipi Bariqi sedikit kencang. Bariqi tergagap bangun, pria itu dengan spontan bangun dari kursinya. Namun karena bangun tergesa-gesa, membuat peredaran darah Bariqi belum normal, alhasil pria dua puluh tujuh tahun itu limbung tepat di tubuh Elya. 
Elya tersentak, gadis itu memegangi tubuh besar Bariqi. 

“Chef, apa-apaan sih nempel-nempel,” pekik Elya mendorong sedikit tubuh Bariqi. Bariqi mengucek matanya yang masih lengket. 

“Chef kenapa tidur di depan sini?” tanya Elya. 

“Ah itu, ketiduran,” jawab Bariqi yang bagai orang mabuk berbicara ngelantur. 

“Maksudku kenapa sampai ketiduran?” 

“Tidak apa-apa. Itu ada bahan-bahan dapur buat kamu makan,” kata Bariqi menunjuk dua kardus besar. Elya mendorong tubuh Bariqi yang membuat pria itu sedikit terhuyung.
 
“Kenapa kasih aku bahan makanan? Kamu mau minta maaf tentang kejadian semalam? Chef, aku beri tahu, ya. Tidak semua permintaan maaf bisa ditebus dengan materi. Semalam mulutmu itu sudah menyakiti hatiku, dan seenaknya pakai nyogok beginian. Kamu pikir aku bakal luluh? Enggak,” sentak Elya bertubi-tubi. Bahkan Elya juga menunjuk-nunjuk dada Bariqi dengan jarinya. 

“Kamu pikir aku menyuap kamu?” 

“Ya kalau bukan menyuap namanya apa? Aku gak akan memaafkan kamu. Semua kesalahanmu hari-hari lalu tidak pernah aku maafkan.” 

“Memangnya kamu pikir kamu siapa sampai aku harus minta maaf sama kamu? Itu bahan makanan bukan dariku, tapi santunan dari petinggi perusahaan untuk orang kayak kamu biar gak kelaparan,” ucap Bariqi menunjuk kening Elya dengan kencang membuat tubuh Elya sedikit terhuyung. 

“Santunan santunan, kamu pikir aku fakir miskin?” 

“Kalau bukan fakir miskin apa namanya? Semua bahan makanan kamu habis, hari gajian masih lama, sudah baik hati bos mengirim santunan buat kamu, harusnya kamu bersyukur.” 

“Aku bersyukur mendapat ini semua, yang gak bersyukur itu bahan makanannya diantar sama kamu. Najis,” pekik Elya. Elya sangat ingin memukul orang di hadapannya itu, tapi melihat pipi Bariqi yang memerah karena kedinginan pun membuat ia mengurungkan niatnya. Bagaimana pun Bariqi sudah baik hati mengirim bahan makanan meski bukan pria itu yang membeli. 

“Ayo masuk, aku buatkan minuman hangat. Tubuh kamu kayak kedinginan,” ujar Elya menarik paksa tangan Bariqi untuk masuk.

Setelah mendorong Bariqi masuk, Elya mendorong dua kardus dan memasukkannya pula ke kamarnya. 
“Duduk di mana pun kamu mau, aku buatkan jahe anget dulu,” ujar Elya.

Galanga ChefTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang