23. Merasa Tidak Berguna

676 45 1
                                    

Pukul dua belas malam, seorang gadis dengan bahu bergetar terus berkutat dengan papan gambar yang tersambung dengan laptopnya. Sudah beberapa jam berlalu, tetapi rasa sakit hatinya tidak kunjung reda. Elya terpaksa tetap tinggal di rumah ibunya, lebih tepatnya di kamar samping dapur yang sangat sempit. Elya tidak bisa keluar dari rumah karena hujan kembali turun dengan deras, sedangkan ayahnya juga menahannya untuk tetap di sana.

Sudah berjam-jam berlalu, kata maaf tidak kunjung Elya dengar dari bibir adiknya. Kemarahan Elya yang tadi sangat menggebu-gebu, tetapi di sudut hatinya terselip rasa kasihan untuk adiknya itu. Selama ini dia yang mengurus adiknya, dari kecil pun saat ibu dan ayahnya bekerja, mereka meninggalkannya bersama sang adik. Rasa sayang Elya pada Rafa sangat besar. Meski sudah dikecewakan, bodohnya Elya masih mengharap adiknya meminta maaf padanya.

Perempuan memang begitu, gampang tidak tega meski sudah disakiti berkali-kali. Ia hanya menampar Rafa, tetapi Rafa memukul kepalanya sampai berdarah. Namun, Elya juga merasa bersalah pada adiknya.

Plak!

Tiba-tiba Elya menampar pipinya seorang diri.

“Dasar bodooh, kenapa kamu menampar adikmu, hah? Dia adikmu, Elya,” maki Elya pada dirinya sendiri.

Plak!

Elya kembali menampar dirinya lebih keras dari sebelumnya. Air mata gadis itu kembali jatuh membasahi papan gambarnya. Sesak di dada Elya tidak bisa dijabarkan. Tidak ada teman, tidak ada siapapun yang bisa Elya ajak berbagi kesedihan. Sebenarnya Elya punya satu sahabat yang sangat baik dan selalu membela dirinya. Hanya saja sekarang sahabatnya sudah memiliki pacar, Elya tidak enak bila mengganggunya. Terlebih pacar Dewa sangat cemburuan kalau menyangkut Elya.

Satu panggilan suara terdengar nyaring dari hp yang Elya letakkan di meja kecil kamarnya. Elya mengusap air matanya, gadis itu segera meraih hpnya.

Panggilan dari Bariqi, pria yang sama yang sudah membuatnya terdampar lagi di Tulungagung. Elya menimang sejenak, tadi Bariqi berpesan saat di Stasiun untuk menghubungi pria itu saat ia sampai rumah. Namun, Elya malah melupakannya. Elya segera menggeser ikon hijau untuk mengangkat panggilan Bariqi.

“Elya, sudah sampai rumah? Kenapa kamu tidak mengabariku?” tanya Bariqi menggebu-gebu. Elya tercenung mendengar pertanyaan Bariqi.

“Elya, halo. Apa kamu masih di sana?” tanya Bariqi lagi saat tidak mendengar jawaban dari Elya.

“Aku di sini. Aku sudah sampai dan aku baik-baik saja,” jawab Elya dengan suara serak.

“Kamu beneran baik-baik saja?”
“Ya.”

“Elya, ada apa? Kenapa kamu menangis?”

“Bukankah ini yang kamu inginkan? Kamu salah satu orang yang sering menyakitiku, lalu kenapa kamu peduli kalau aku menangis?”

“Elya, jangan katakan itu. Katakan apa yang terjadi sama kamu?” sentak Bariqi yang terdengar sangat panik mendengar suara Elya yang serak.

Elya tidak tahu apa maksud dan keinginan Bariqi. Saat mereka bersama, Bariqi terus-terusan membuatnya sakit hati, tetapi saat berjauhan Bariqi seolah sangat khawatir padanya.

“Aku tidak apa-apa, panggilannya aku tutup,” ujar Elya.

“Elya tunggu dulu!” pekik Bariqi. Namun, sudah terlambat, Elya menutup panggilan telfonnya. Gadis itu kembali melanjutkan menggambar komik, Elya harap ada rezeki yang bisa ia dapatkan dari gambaran-gambarannya itu.

Di sisi lain, Bariqi tengah memasukkan barang-barangnya dalam tas, pukul satu dini hari pria itu mengagetkan kedua orang tuanya yang tengah tidur nyenyak.

Galanga ChefTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang