“Gue yang udah ngebunuh Bunda.”
Nayla termangu saat Juna mengatakan sesuatu padanya. “Maksud lo apa?”
Bukannya segera menjawab, Juna tampak tersenyum pedih. Dia mengusap kembali nisan Bundanya. Juna terlihat sangat menyayangi sang Bunda, pasti cowok itu sangat kehilangan Bundanya.
“Jun...,” panggil Nayla. Cowok itu menoleh. “Maaf kalau pertanyaan gue bikin lo marah. Tapi kalau boleh tau Bunda meninggal karena kenapa, ya? Dan kenapa lo bilang, lo yang ngebunuh Bunda? Nggak mungkin, kan?”
Juna tersenyum lalu menghela. “Lo takut sama gue setelah gue ngomong ini?”
Nayla sebenarnya mulai bergetar karena merinding setelah mendengar pengakuan yang terucap dari bibir Juna. Namun, gadis itu menggelengkan kepalanya.
“Gue nggak takut. Gue percaya lo orang baik, Jun.”
Juna tersenyum lagi, kemudian ia bangkit dari sisi makam Bundanya. Cowok itu mengulurkan tangannya ke Nayla, ingin membawa Nayla segera beranjak dari makam.
Dia membantu Nayla untuk berdiri setelah mencium nisan Naya, bundanya.
“Bun, Juna pulang dulu. Nanti Juna pasti datang lagi,” katanya. “Kita berdua, Bunda,” sambung Nayla. Juna turut menatap Nayla, kemudian dia tersenyum kecil.
Sesaat kemudian, suara guntur dari atas langit terdengar sama-samar. Juna menengadah, menatap gumpalan awan gelap yang perlahan mulai datang. Juna menatap Nayla.
“Kita pulang, ya. Sebentar lagi mau hujan.” Dia mengatakannya seraya mengelus rambut gadis di sampingnya dengan perlahan.
Juna menuntun Nayla keluar dari pemakaman dengan kedua mata memerah dan berair menahan tangis.
Juna berusaha menyembunyikan kesedihannya dari Nayla, tapi tetap saja gadis itu menyadari bahwa cowok yang sedang menuntunnya berjalan keluar makam sedang mempertahankan tangisnya agar tidak keluar.
Setelah keluar dari makam, Nayla sengaja menghentikan langkah keduanya. Dia tak sanggup melihat tatapan menyedihkan dari kedua mata Juna.
Gadis itu menoleh pada Juna. Dia tersenyum tipis menatap Juna. Gadis itu menjauhkan tangannya dari genggaman Juna, membuat cowok itu refleks menoleh kepadanya.
“Kenapa? Lo takut sama gue?”
Nayla melihat bahwa Juna sangat ingin menangis usai pamit dari makam sang Bunda. Juna terlihat kesepian karena kehilangan Bundanya.
“Jangan ditahan. Kalau mau nangis, nangis aja.”
Mata Nayla basah lagi. “Almarhum Papa pernah bilang, terkadang siapa pun boleh menangis, dan orang keras kayak lo nggak harus berpura-pura baik-baik aja.”
Sontak, Juna sedikit melebarkan mata. Pandangan Juna berubah kosong, dia terlihat begitu hampa saat menatap Nayla. Membuat gadis itu terus memerhatikannya selama beberapa menit.
“Jun, lo nggak sendiri di sini. Lo punya gue, Sisil, Mama, Markus, Ekal dan orang tua lo. Meskipun Bunda udah nggak ada di dunia ini, tapi Bunda Naya pasti sedih kalau ngeliat anak kebanggaannya pura-pura baik-baik aja di sini.”
Lalu, Nayla menangkup wajah Juna dengan kedua tangannya. Gadis itu tersenyum sedih ketika melihat Juna tampak begitu memilukan di hadapannya. Bukan seperti Juna yang terkadang menyebalkan, galak dan penuh emosi.
“Mmm.. Boleh gue peluk lo? Gue butuh sandaran,” pintanya melirih.
Nayla mengulurkan tangannya, kemudian Juna mendekat, dia meraih tubuh Nayla dan memeluknya erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARTAJUNAY (SDH TERBIT)
Teen FictionArtajuna Pradipto, pentolan sekolah dengan sikapnya yang menyebalkan. Dia ditakuti semua orang karena sikap kerasnya dan sering semena-mena. Namun sebenarnya hidupnya penuh dengan luka. Termasuk tentang cinta. Dia sulit melupakan masa lalunya yait...