NATADEAN 42

15 1 0
                                    

"Kenapa kita harus bertemu lagi?"
_
_
_

Semua teman Nata sudah pulang, menyisakan Raga yang masih setia duduk di sofa abu sambil menyaksikan tayangan televisi.

"Ga," panggil Nata yang kemudian ikut duduk di sebelah Raga.


Deheman dari Raga menjawab panggilan Nata barusan.

"Kayaknya gue gak bakal bisa ngelupain Kak Dean deh," ujar Nata to the point.

"Belum bisa bukan gak bisa," jawab Raga dengan pandangan yang masih lurus kearah televisi.

"Kalo kata Devano, 'kita ditemukan pada kisah yang indah'," tiba-tiba saja sekilas ia ingat dengan lirik lagu yang sepertinya mirip dengan kisahnya.

Sebelum menjawab, Raga memutar badannya menghadap Nata.


"Tapi berakhir dengan kisah yang kelam," sarkas Raga yang kemudian kembali menghadap televisi.

"Idih si Raga rese," Nata mendengus kesal.

Beberapa detik setelahnya, Nata lagi-lagi membuka suara.

"Ngiming-ngiming lo gak pernah cerita lagi suka sama siapa, sejak SMP malah," kini Nata yang balik bertanya, ia tak mau Raga hanya menjadi pendengar dikala ia menuangkan keluh kesahnya, Nata juga mau jika Raga menjadikannya tempat cerita ternyaman.

"UHUK," Raga tersedak minuman.

"Ehh gapapa lo?" Nata yang panik karena tiba-tiba Raga tersedak pun ikut membantu membersihkan bajunya yang basah karena tumpahan air minum.

Hap

Raga memegang tangan Nata yang sedang sibuk mengelap bajunya dengan tissue.

"Gausah, gue bisa sendiri," ujarnya, lalu mengambil alih kegiatan Nata.

Nata hanya mengerutkan dahi, bingung, kenapa Raga tiba-tiba bertingkah dingin.

"Lo belum jawab pertanyaan gue," ujar Nata lagi.

"Gue gak tertarik sama cewe," jawab Raga tanpa ragu.

"HAH?! Maksud lo? Lo suka cowo, astagfirullah Ragaaa," sontak Nata kaget dan melompat dari sofa menjauhi Raga.

"YA GAK GITU BODOHHH," sahut Raga dengan satu timpukkan bantal yang ia berikan kepada Nata.

"Gue pernah suka cewe, tapi dia suka orang lain, jadi yaudah gue nganggur aja sekarang," jawabnya.

"Lah siapa Ga? Kok gue gak tau," hmm sifat kepo Nata mulai muncul, ia bergerak mendekati Raga.

"Mulai, mulai, jauh-jauh deh lo," ujar Raga sambil mendorong muka Nata menjauh.

"Ck, Raga, lo mah main rahasia-rahasiaan, lo tuh harus cer-," kalimatnya terpotong ketika mendengar ponselnya berdering.

"Ya halo Kak Tono? Ahh buat pameran ya, udah lengkap koleksi kita, tinggal angkut. Oke-oke siap kak, makasih ya,"

Tut

Telpon dimatikan, rupanya itu telepon dari Kak Tono, ketua panitia acara pameran busana Indonesia yang diselenggarakan besok pagi, hal itu lah yang sempat membuat Nata pontang-panting tak karuan mengejar deadline.

"Wahhh sibuk nih," ujar Raga.

"Heem, besok katanya setiap stand disediain fotografer, jadi besok gue harus kenalan dan briefing dulu sama mas foto nya, biar pas Kak Runa dateng udah siap semua," jelas Nata panjang lebar.

"Kak Runa dateng juga?"

Nata mengangguk.

"Dateng lah, kan dia CEO-nya masa gak dateng," jawab Nata, yang kemudian menyandarkan kepalanya di bahu Raga.

Dag...dig... dug

Jantung Raga berdegup tak karuan, tingkah Nata membuat Raga salah tingkah.

"Cape deh Ga, masa iya gue gak bisa ketemu Kak Dean lagi, udah hampir delapan tahun loh Ga, masa sekali aja papasan itu gak pernah sama sekali,"

"Y-ya kan lu gak inget ucapan lo waktu SMA yang lo ceritain ke gue? Terkabul kan sekarang,"

"Maksud gue, ya gak selama ini,"

"Berdoa aja lagi, siapa tau... ketemu," Raga sedikit ragu dalam mengucapkan kalimatnya, ia takut jika Nata kembali bertemu dengan Dean, ia akan tersisihkan. Bahkan selama Dean menghilang, Nata pun masih saja memikirkannya.

"Aminnn," jawab Nata, lalu menangkupkan kedua tangannya dan mengusapnya ke wajah.

Jantung Raga masih belum kembali normal, walaupun tercampur rasa kecewa akibat kalimat Nata barusan.

"E-em N-Nata, g-gue pamit ya," begitulah percakapan terakhir, sebelum Raga pergi dari rumah Nata.

•••

Hari ini, hari dimana semua kerja keras Nata akan terbayarkan. Pameran busana Indonesia, adalah acara yang cukup bergengsi, terselip rasa bangga dari dalam diri Nata.

Ballroom di sebuah hotel menjadi lokasi acara itu diselenggarakan, ballroom itu sangat ramai, beberapa tamu undangan mulai melihat-lihat hasil karya para designer. Ballroom yang dihias dengan dasar warna hitam dan dipadukan dengan motif batik itu terlihat elegan.

"Oke, stand kita udah ready, mana ya fotografer nya? Harus koordinasi dulu mana aja yang boleh di foto dan engga," ujar Nata pada teman kerjanya.

"Emang gak semuanya boleh di foto?" tanya Via, teman kerja Nata.

"Engga dong, kan foto itu nanti akan disebar luaskan ke orang banyak, termasuk yang bukan undangan pameran, nah jadi ada busana-busana yang khusus untuk dilihat sama tamu undangan aja," jelas Nata panjang lebar, maklum Via baru saja satu minggu bergabung di perusahaan.

"Ohh, oke Nat, maaf belum tau," jawabnya sambil mengangguk-anggukkan kepala.

"Iya gapapa, aku ke sana dulu ya, mau nyapa temen-temen yang lain," ujar Nata menunjuk sebuah meja bulat hitam di tengah-tengah aula besar itu.

Tak lama terdenggar suara dari arah berlawanan dari tempat Nata berdiri.

"Permisi, apa benar asisten Ibu Runa?"

"Iya betul," jawab Nata sembari memutar badan menghadap ke sumber suara.

Deg...

Nata bungkam. Netranya tak lepas dari sosok itu. Ia berjalan mendekat, berjalan lebih dekat kearah Nata.

"Gue mimpi?" batin keduanya.

"Nat, itu fotografer stand kita," suara Via yang datang kearah Nata membuyarkan lamunananya.

"O-ohh iyaa," Nata terlihat kikuk, namun berusaha tetap profesional.

Ia berdehem sebelum kembali melanjutkan kalimatnya.

"Perkenalkan, saya Natania Ranum, asisten Ibu Runa," pengucapannya dibuat tegas, sambil menjulurkan tangannya untuk berjabat tangan.

"Saya Dean Dirgantara, fotografer untuk stand ini," tangannya membalas uluran jabatan tangan Nata.

Keduanya tampak profesional, seolah-olah mereka tak saling kenal dan tidak pernah terjadi apa-apa diantara mereka. Melupakan semua masa lalu yang cukup pahit untuk diingat.


Dengan usaha maksimal dan dengan rasa mengemban tanggung jawab atas pekerjaan, mereka berhasil melakukan kerjasama dan acara foto maupun pameran berjalan lancar.


•••


NATADEAN: A MISUNDERSTANDING BETWEEN USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang