Bab 2 : Tradisi Rumah

85 6 0
                                    

Kepulan nasi yang panas membuatku segera mengambil dalam sebuah wadah sedang. Aku tidak tau apakah dia akan sarapan atau tidak. Hanya saja Ibu selalu mengajarkan ku sedari kecil memulai hari dengan sarapan jika tidak berpuasa. Lagipula hari ini bukannya hari senin atau kamis.

Aku khawatir jika dia punya riwayat GERD dan malah menjadi-jadi kalau meninggalkan sarapan. Tapi entah apa yang sedang dia lakukan dengan laptopnya di pagi buta. Aku ingin bertanya tapi itu mengganggu privasinya. Apalagi sejak percakapan terakhir kali dia hanya bungkam.

"Pak, saya boleh masuk?"tanyaku mengetuk pintu bermaksud membersihkan ruangan.

"Apa saya menulis larangan masuk disana?".

Pernyataan yang tidak membutuhkan jawaban itu terdengar cukup membuat nyali ku ciut. Apa dia sedang stres dengan semua pekerjaannya? Atau aku yang menyebabkan semua masalahnya?

Belum sempat menciptakan teori, pria itu menoleh menatapku dari ujung kaki sampai ujung hijab. Apa aku benar-benar sedang membuat kesalahan? Kenapa dia malah menatapku begitu? Tangan ku malah semakin gemetar melihatnya menatap begitu lekat.

"Kamu saya nikahi bukan menjadi asisten rumah tangga. Memangnya kamu tidak perlu bersiap untuk kuliah? Kamu mau bermain-main selama kuliah?"tanyanya membuatku menggeleng cepat.

"Saya pikir hanya melakukan pekerjaan rumah kecil, Pak. Saya hanya terbiasa dengan pekerjaan rumah biasa. Lagipula saya sudah menyiapkan materi kuliah kemarin sore,"ucapku.

Pria itu beranjak dari kursinya malah mendekati ku. Memaksa ku berjalan mundur hingga membentur ujung ranjang. Apa aku mengatakan kesalahan? Kenapa tatapannya malah menjadi begitu mengintimidasi? Memangnya aku membuat kesalahan apalagi?

"Sulitnya membuat mengerti anak kecil sepertimu. Dengar, selagi kamu belum lulus kuliah jangan coba-coba menyentuh pekerjaan rumah. Semua itu tugas saya. Ada dan tidaknya kamu sudah saya kerjakan. Saya tidak mau beradu argumen. Fokus untuk belajar saja,"ucapnya membuatku mengangguk mengerti.

"Kalau begitu apa yang boleh saya lakukan di rumah, Pak?"tanyaku penasaran.

"Belajar dan jangan tampilkan ekspresi yang memancing,"ucapnya.

Memancing? Sejak kapan aku berusaha menggodanya. Bahkan aku saja tidak tahu kalau aku pernah terlihat menggoda dirinya. Bahkan di dalam rumah sekalipun masih mengenakan pakaian seperti di luar.

"Maaf tapi kapan saya menggoda Bapak? Saya kan memakai pakaian tertutup terus,"ucapku sesaat dirinya memalingkan wajah.

"Cukup. Saya tidak butuh perdebatan pagi ini,"ucapnya malah meninggalkan ku sendiri di kamar.

Mengabaikan dirinya yang tengah kacau dengan isi kepala membuatku segera mengambil beberapa perlengkapan pribadi. Menyiapkan diri berangkat ke kampus sepagi mungkin. Mengingat kemacetan di beberapa titik.

"Sarapan dulu. Nggak boleh keluar rumah sebelum sarapan,"ucap Wira berdiri di mimbar pintu.

"Pak, nanti saya terlambat. Belum lagi macet,"ucapku melirik jam tangan.

"Terserah. Yang penting itu aturan saya,"ucapnya membuatku menghela nafas panjang.

Tadi di ajak sarapan stres dengan kerjaan. Sekarang malah maksa Sarapan. Mana sudah mau jam setengah 7. Pasti jalanan juga lagi rame. Gimana coba aku mau berangkat kalau begitu? Hah. Tapi sayangnya sekarang aku sudah menikah. Dia punya hak memberi batasan itu.

Mengurangi perdebatan yang terlalu panjang, aku hanya melangkah dalam diam ke meja makan. Karena di rumah ini hanya ada dua arah, membuatku mau tidak mau duduk berhadapan secara langsung. Denyut jantung ku semakin tidak terkendali melihat wajahnya di depan mata.

Saujana Sandyakala ~ CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang