Bab 7 : Handbook

60 5 0
                                    

Langkah ku terasa semakin berat saja dari hari ke hari. Laporan ku entah kapan usainya. Aku sudah mengorbankan waktu demi mengetik laporan. Namun tidak mampu membuat laporan itu selesai dengan mudah. Daripada hanya berputar dengan topik yang sama membuatku harus berhenti di depan ruang Bu Dania.

Sembari menunggu antrean yang cukup panjang, aku memilih duduk di sekitar laboratorium. Tampak Wira tengah melakukan penelitian di dalam sana bersama Risa. Aku suka melihat tawa renyah dan senyuman lebar Wira di dalam sana.

Tawa renyah dan senyuman lebar itu adalah kali kedua diriku melihatnya secara langsung bukan dalam mimpi. Mencintai dalam diam memang tidak menerima penolakan. Namun akan terasa menyakitkan saat harus menerima kenyataan yang ada di depan mata. Bagaimana caranya menghilangkan rasa cemburu?

Kalau pun aku cemburu, aku tidak akan bisa membuatnya seperti yang sedang terlihat di mata. Lihatlah pria tampan ku sedang tertawa bahagia. Entah mengapa bibir ku terasa terangkat bahagia. Namun dada ku terasa sesak. Aku memang masa depan dan saat ini. Namun dalam hatinya tidak akan bisa di bohongi.

"Eh, kebiasaanmu buruk sekali. Kamu perlu menghilangkan kebiasaanmu itu, Risa".

"Satria, kamu bahkan lebih buruk. Sejak kapan kamu jadi rajin memasak?".

Hah.

Bagaimana dirinya tidak rajin memasak? Yang dirinya nikahi bukanlah perempuan sempurna sepertinya. Aku malah seperti beban berat yang harus ditanggung dan tidak bisa melakukan apa-apa. Mengapa sulit sekali menyingkirkan prasangka dalam benak seorang perempuan?

"Nilam".

Sontak lamunan ku tersentak menoleh melihat Gladis berdiri di ambang pintu. Segera ku dekati dirinya, khawatir dia malah melirik apa yang tengah ku lihat saat ini. Aku tidak mau suami ku mendapati reputasi buruk dengan perempuan lain. Meskipun aku pun merasakan sakit saat melihatnya. Itu bukan lah masalah selagi bukan orang lain.

"Kamu melamun, ya? Dari tadi ku panggil nggak ada respon. Eh, katanya mau bimbingan bersama Bu Dania? Tadi ku lihat mejanya sudah kosong,"ucap Gladis membuatku mengangguk pelan.

"Aku hanya punya sedikit masalah. Aku bimbingan dulu, ya,"ucapku beranjak pergi.

Kepala ku sudah banyak dipenuhi dengan spekulasi yang tidak masuk akal tentang Wira. Bahkan aku nyaris lupa alasan apa yang membuatku ingin menemui Bu Dania.

"Sedang banyak pikiran, Dem?"tanya Dania membuatku menggeleng pelan.

"Terlihat dari matanya, loh. Sebelum bimbingan, saya mau sedikit sharing. Mungkin nanti hal ini juga bisa membantu, Dek. Sebagai pasangan baru menikah, wajar kalau banyak masalah. Anggap lah kita mau naik kapal baru. Namanya kapal baru belum di uji coba.

Pasti kalau terkena badai akan sedikit goyah. Belum lagi ada beberapa alatnya yang kurang sesuai. Saya dulu menikah sama seperti Nilam. Kalau menikah dengan orang yang kita cintai, hati ini merasa puas. Mau menyesal nasi sudah menjadi bubur. Solusinya dengan menambah kecap, ayam suwir, bumbu dan kerupuk.

Saya tidak terlalu tahu mengenai Pak Wira, Dek. Tapi saya hanya tahu, siapapun masa lalunya akan tetap menjadi masa lalu. Terus lah berjuang untuk membuatnya merasa yakin masa lalunya tidak akan mendapatkan posisi masa sekarang dan masa depannya,"ucap Dania membuatku tersenyum pahit.

Kalimat itu telah banyak ku baca dari berbagai sumber. Namun saat masalah menghampiri, kalimat itu hanya akan menjadi kata-kata. Sembari membuka kembali laporan, sejenak ku singkirkan permasalahan mengenai Wira. Aku sudah memasrahkan selebihnya pada yang di atas. Jika pahit, semoga bisa menjadi manisnya ridho Allah.

Dan jika manis semoga bisa menambah manisnya ridho yang telah Dia berikan pada hamba Nya yang suka mengeluh seperti ku. Aku masih menuju gelar sarjana bukan lulusan magister cumlaude seperti Risa. Namun bukan alasan bagi ku menjadi perempuan yang terbaik baginya. Meskipun belum mampu membuatnya tersenyum lebar.

Saujana Sandyakala ~ CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang