Mataku menatap nanar berbagai keperluan melahirkan yang telah ku siapkan dari jauh hari. Hari kelahiran ku sudah tiba. Namun hingga hari itu tiba, Wira belum kunjung kembali. Bunda khawatir aku akan mengalami kontraksi saat di rumah sendirian membuatku turut berangkat ke rumah sakit.
Sejak Erika datang ke rumah, gadis itu menjadi senang bertukar kabar. Dirinya sedang dekat dengan rekan kerjanya. Baginya berseteru dengan masa lalu adalah hal yang menyakitkan. Makanya dirinya memilih untuk berdamai dengan keadaan. Lantas, sekarang yang menjadi pertanyaan kemana perginya Wira?
Dia juga tidak pernah mengirim pesan membuatku hanya bisa menunggu dan menunggu saja. Beberapa orang perawat yang ditempatkan Bunda di ruang rawat inap ku sedari tadi mengawasi dengan seksama. Sementara diriku masih belum merasakan apa-apa.
"Apa ada cara untuk mempercepat proses persalinan?"tanyaku lelah sedari tadi hanya duduk di atas ranjang.
Salah seorang perawat datang mendekati ku membantu berdiri. Sejujurnya kalau diminta berjalan-jalan aku akan melakukan dengan senang hati. Tapi masalahnya kaki ku pun terasa sakit karena bengkak.
"Mari berjalan-jalan ringan, Bu,"ucapnya membantu ku berjalan dengan pola sederhana.
"Hah, tidak perlu. Sepertinya aku belum juga merasakan kontraksi. Aku akan beristirahat saja. Sedari pagi aku sudah berjalan, sekarang rasanya terlalu penat,"ucapku membuatnya kembali mengajak berbalik menuju brankar.
Wira, kamu benar-benar tidak bertanggung jawab untuk 5 bulan sisanya. Aku menanggung berat dan susah ini sendirian. Sedangkan dirimu tidak sedikit pun ku dapati kabarmu. Sembari menyandarkan kepala pada bantal perlahan ku pejamkan mata.
Aku ingin mengeluh tapi semua ini sudah menjadi resiko. Air mata ku pun terasa begitu panas menuruni pipi. Sudah banyak cerita yang terlewat dan banyak rindu yang termakan jarak. Kapan waktu untuk kembali itu hadir?
Usapan perlahan di perut terasa samar membuatku tersenyum kecil. Bunda sesekali sering mengusap perut ku setelah selesai dengan pekerjaannya. Tidak lupa perempuan itu selalu mencium kening ku.
"Bunda, sudah selesai?"tanyaku sembari menyentuh tangannya.
Tunggu.
Sejak kapan tangan Bunda menjadi sebesar dan begitu berotot? Mata ku segera terbuka lebar. Namun apa yang tengah ada di depan mata membuatku terkejut bukan main. Bibirku terbuka lebar tanpa bisa dikendalikan.
Aku tidak sedang bermimpi melihat Wira seperti biasanya lagi, kan. Benarkah pria di depan ku, Wira? Tubuhnya memang terlihat seperti dirinya hanya saja sedikit lebih kurus. Wajahnya pun terlihat tidak terawat membuatku menahan tangannya. Pria itu mendongak membuatku hanya bisa terus membisu.
"Saat saya meninggalkanmu di bandara kala itu sepertinya masih datar. Sekarang sudah sebesar ini saja, ya,"ucap Wira membuat air mataku menitik begitu saja.
Pria itu menggeser tubuhnya mendekat sontak membuatku bergerak mundur. Aku masih terlalu shock dengan apa yang ku lihat. Biasanya akan diwarnai wajah tentram Bunda memberikan semangat. Sayangnya yang ada di depan mata berbeda.
"Pipimu terlihat lebih gemuk. Tapi masih saja cengeng,"ucap Wira begitu khas dengan kalimat menusuknya.
Setiap kali aku yakini adalah hal nyata rupanya mimpi. Lantas bagaimana aku bisa percaya dengan apa yang ada di depan mata. Setelah sekian lama aku ditemani dengan kesendirian dan janinnya, tidak hanya sekali angan ku terasa nyata.
Mataku melirik beberapa perawat memalingkan wajah seraya beranjak pergi membuatku hanya bisa mengedipkan mata tidak percaya.
"Apa sekarang kamu menambahkan item shock dalam setiap kegiatan yang saya lakukan?"tanya Wira.
![](https://img.wattpad.com/cover/322385978-288-k328510.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Saujana Sandyakala ~ Completed
Romans"Kecil, cengeng, ribet, berisik, penakut lagi,"ucap seorang pria mendengus sebal. Kira-kira begitulah komentar Prawira tentang istrinya. Bukan tentang romansa untuk menggoda. Sayangnya dia mengatakan dengan logika. Begitu risihnya pria itu dengan is...