Hiruk pikuk pengajian yang baru saja usai masih membuatku termangu tanpa kata. Permasalahan hidup ku tidak lagi berpijak pada keraguan pernikahan. Naasnya ujian itu menyerang sisi lain dengan cara yang berbeda. Seperti baru saja membuka jalan yang seharusnya tidak perlu ku ketahui.
Sejenak ku hela nafas panjang seraya menyesap teh hangat. Ingatan ku melayang pada berbagai jurnal milik gadis itu. Anehnya dalam setiap pembukaan yang tercantum pada karya tulisnya menyertakan nama ku. Padahal aku tidak pernah ikut campur dalam urusan hidupnya.
Sebenarnya hal itu bukanlah masalah yang besar. Hanya saja mengundang tanda tanya bagi diriku sendiri. Mengapa aku menjadi salah satu orang yang dituliskan mendukung prosesnya? Sedangkan aku saja baru mengetahui namanya setelah kejadian naas ini. Bukankah hal itu terasa aneh?
"Mas, ada kiriman baju pengantinmu,"ucap Pram memberikan setelan jas dan pakaian adat.
"Taruh saja disana, Pram,"ucapku.
"Ada apa, Mas? Apa yang sedang kamu pikirkan?"tanya Pram membuatku menggeleng pelan.
Pram sudah banyak bekerja keras untuk acara pernikahan ku. Dengan membuatnya berpikir hanya akan menyusahkannya saja. Lagipula masalah itu hanyalah masalah sepele yang tidak perlu ku besar-besarkan. Menjelang acara pernikahan, semua hal menjadi sesuatu yang sensitif. Lebih baik menghindari dan memilih topik yang lain.
"Aku hanya berpikir setelah ini kita akan punya anggota keluarga baru,"ucapku.
"Mulai besok rumah ini akan punya menantu baru. Rani juga sudah tidak sabar menunggu kakak ipar baru,"ucap Pram membuatku tersenyum kecil.
"Rumah ini akan mendapatkan anggota baru. Tetapi yang sudah pergi dari sini tidak pernah kembali,"ucapku.
Pram hanya tersenyum kecil mengerti kemana arah pembicaraan yang sedang ku bawa. Nyatanya dengan hadirnya anggota baru dalam keluarga kami belum mampu menghadirkan anggota lama yang hilang. Saat Pram menikahi Rani, aku yang mendampinginya sebagai walinya. Ayah sudah pernah mengatakan padaku sejak masih belia.
Tugas seorang kakak itu harus mengayomi dan melindungi saudaranya. Setelah kepergiannya, semua urusan Pram berada dalam tanggung jawab ku dari mengantarnya sekolah sampai mendampingi dalam pernikahannya. Tetapi setelah tiba waktunya bagiku untuk menikah barulah teringat kembali luka itu.
Ketika kami duduk penuh harapan menunggu di depan ruangan ICU. Telinga ku menjadi begitu sensitif dengan suara yang timbul. Bahkan sesekali harapan ku menjadi putus setiap mendengar gejolak dalam nadanya. Nyatanya harapan ku benar-benar pupus kala itu membawa pergi Ayah bersama dengan nada panjang memekakan telinga.
"Sekarang saatnya aku yang bergantian menjadi pendampingmu, Mas. Seperti kamu yang selama ini sudah menggantikan kedudukan Ayah. Sekarang saatnya aku yang menanggungnya,"ucap Pram menepuk bahu ku.
"Terima kasih, Pram,"ucapku.
"Sepertinya kita perlu mengunjungi Ayah, Mas. Sudah lama kita tidak pernah berjumpa dengannya lagi,"ucap Pram membuatku mengangguk pelan.
Cerita dan kenangan tentang kehadiran sosok Ayah itu seolah membuatku kembali mengingat masa kecil. Aku dan Pram tidak pernah bosan berkelahi setiap harinya. Ayah bukannya marah besar malah lebih memilih tersenyum mengusap kepala kami. Perkelahian kecil itu hilang setelah beliau pergi tanpa kembali.
"Mas Wira, bawa ini,"ucap Bunda membawa beberapa jenis bunga dalam plastik.
"Bunda tidak mau ikut?"tanyaku.
Perempuan itu hanya tersenyum seraya menggeleng pelan. Bunda pernah mengatakan pada kami tidak pernah ke makam Ayah setelah pemakaman. Baginya Ayah masih hidup dan tidak pernah pergi. Melihat betapa tinggi kedudukan Ayah di dalam benak Bunda membuatku termenung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saujana Sandyakala ~ Completed
Romance"Kecil, cengeng, ribet, berisik, penakut lagi,"ucap seorang pria mendengus sebal. Kira-kira begitulah komentar Prawira tentang istrinya. Bukan tentang romansa untuk menggoda. Sayangnya dia mengatakan dengan logika. Begitu risihnya pria itu dengan is...