Bab 8 : Dinding Rumah

61 5 0
                                    

Gemericik air yang mengalir di sekitar taman rumah sakit memberi suasana teduh di tengah siang terik. Sudah sejak beberapa menit yang lalu aku duduk aku menanti dengan cemas antrean konsultasi Dokter Fatimah. Setelah semalam Wira memberikan hasilnya, kali ini dirinya meminta ku bertandang kembali.

Dirinya ingin memastikan dengan kondisi yang ku alami tidak membahayakan bagi ku. Meskipun dirinya berbicara dengan ceramah panjang lebar, aku bisa mengerti maksudnya dengan baik. Wira peduli dengan kesehatan ku.

"Nyonya Aluna Firdaus".

Langkah ku mendadak menjadi gamang ingin beranjak mendekati pintu pemeriksaan. Namun sayangnya pria itu lebih dulu berdiri membuatku malu terlihat begitu kekanakan. Aku sudah berusaha sebaik mungkin tidak menjerit seperti kesurupan saat di suntik sejak dari rumah.

"Apa kamu berencana kesurupan lagi?"tanya Wira membuatku menggeleng.

Aku masih memiliki gengsi yang cukup tinggi untuk berteriak dan bereaksi memalukan seperti kala itu. Anggap lah sudah banyak yang telah ku lalui dengan Wira. Namun, aku masih memiliki perasaan yang begitu besar pada Wira.

"Nggak papa kali, Mas Wira. Ayo Mbak Aluna,"ucap Dokter Fatimah mengajak ku berbaring.

"Eh, kenapa Bapak ikut?"tanyaku menatapnya horor.

Sontak membuat wajah semua perawat di ruangan saling menatap aneh. Akh, ya pasti mereka berpikir yang tidak-tidak kalau aku menyebutnya 'Pak'. Namun berbeda dengan Dokter Fatimah yang tersenyum kecil seraya terkekeh pelan.

"Pasti masih terbawa kebiasaan di kampus, ya. Tenang, Mas Wira duduk di sebelah kanan. Biar saya saja yang duduk di bawah,"ucap Dokter Fatimah membuatku perlahan berbaring tenang.

Aku sengaja menghindari sisi kanan terlalu malu untuk menatap wajah pria itu. Dirinya bisa tenang saja karena bukan dia yang diminta seperti ini. Andai posisinya di balik mungkin akan berbeda jadinya.

"Dok, apa Bunda menerima kabar ini?"tanyaku.

"Tentu saja tidak. Saya menjunjung profesional Mbak Aluna,"ucap Dokter Fatimah membuatku mengangguk pelan.

"Sebenarnya, kalau pun Bunda tahu yang menjadi prioritas hanya kesehatanmu,"ucap Wira.

Aku hanya bisa menghela nafas pasrah dengan hasil pemeriksaan lanjutan ini. Toh, jika hasilnya memang memiliki kemungkinan kecil aku juga tidak bisa bertindak banyak. Mungkin aku memaksa menggunakan logika untuk menghilangkan sendu. Namun sebagai perempuan aku cukup sedih dengan ketiadaan hal itu.

"Aduh,"ucapku merasa tak nyaman.

Baru saja meringis, Wira segera menahan lengan ku. Bukannya aku mau mengamuk dengan kondisi begini. Hanya saja aku benar-benar tidak nyaman. Andai saja bukan dengan Wira pasti sudah banyak berkeluh kesah sejak tadi. Namun gengsi tetap lah hal yang penting. Aku malu jika harus bertindak kekanakan di depan pria yang ku cintai.

"Rasa nggak nyaman atau sedikit nyeri itu wajar, Mbak Aluna. Nggak usah di tahan kalau memang nggak nyaman,"ucap Dokter Fatimah.

"Saya malu, Dok,"ucapku lirih.

Sontak kalimat itu membuat beberapa perawat terkekeh menahan tawa. Mereka tidak tahu bagaimana rasanya di temani suami yang begitu kamu cintai meskipun rasanya padamu hanya sebatas penghormatan semata.

"Nah, sekarang bisa terlihat jelas bagaimana bentuk rahim Mbak Aluna. Bagian yang membelah di tengah ini membuat resiko kehamilan sangat rentan mengalami keguguran,"ucap Dokter Fatimah membuatku menunduk.

"Tapi hal itu tidak membahayakan kondisi kesehatannya kan, Dok,"ucap Wira membuatku menoleh.

"Tentu saja tidak. Namun saat terjadi keguguran akan berbahaya,"ucap Fatimah membuatku menelan pahit kenyataan.

Saujana Sandyakala ~ CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang