Sajian makan malam yang masih mengepul mengundang rasa lapar seisi rumah. Bunda begitu bahagia tidak hentinya menceritakan berbagai hal tentang masa kecil Wira. Ku pikir akan ada saatnya pria tampan itu membuka mulutnya bercerita dengan sendirinya.
"Wira, coba tebak siapa yang masak capcay kesukaan mu itu,"ucap Bunda membuatku mendongak.
Oh.
Rupanya pria tampan itu menyukai campuran sayur lengkap. Tampak kedua alisnya bertaut berpikir sejenak menatap Bunda dan Ayah bergantian. Menyisakan diri ku yang berada di luar jarak pandangannya.
"Dek Aluna. Bunda kan nggak suka kol,"ucap Wira terdengar berbeda saat di rumah mertua.
"Jangan seperti kanebo kering begitu, Nak. Perlakukan istrimu dengan manis,"ucap Bunda.
"Itu hanya kalimatnya saja, Bun. Mas Wira hanya malu menampakkan di depan Bunda,"ucapku.
Entah apa yang membuatku dengan percaya diri mengatakan Wira malu-malu. Padahal aslinya ya memang dirinya kanebo kering seperti yang dikatakan Bunda. Aku rasa akan mendapat khutbah setelah makan malam dilihat dari caranya menatapku tanpa ekspresi saat ini.
"Bunda tahu dia hanya malu. Kapan lagi bisa menggoda anak sulung tersayang Bunda, kalau bukan sekarang. Benar, kan?"tanya Bunda.
Perempuan di sebelah ku ini terbuat dari apa sebenarnya? Kenapa dia begitu lembut seperti kapas? Lantas mengapa pria di depan ku seperti padang pasir tandus? Apa dia itu matahari untuk kapas tumbuh subur?
"Melihat karakter keras Wira, Bunda merasa cemas membiarkanmu di rumahnya, Nak,"ucap Bunda.
Bibir ku tersungging mendengar pernyataan yang begitu sesuai dengan realita di lapangan. Acara makan malam ini pasti sangat menekan karakter Wira. Tapi dia tidak sepenuhnya salah. Karena sebelum menikah dia sudah memberitahu semua sifat yang ada saat ini.
Jika aku ingin mengeluhkan sifatnya seharusnya sejak sebelum menikah. Untuk sekarang sifat Wira adalah satu bagian dengan dirinya yang telah ku terima. Mata ku melirik dirinya merasa kurang nyaman. Bahkan nasinya terlihat tidak lagi enak di telan.
"Nilam sayang, kemarin malam Bunda sempat buat puding. Kamu mau mencobanya, sayang?"tanya Bunda sembari membereskan bekas makan malam.
"Wah, mau Bun,"ucapku mencuci piring.
"Kenapa kamu cuci piring malam-malam begini, sayang? Biar Bunda cuci besok pagi saja. Kamu makan puding saja,"ucap Bunda berusaha menggapai spons yang ku pegang.
"Tidak masalah, Bun. Lebih baik Bunda beristirahat saja. Seharian di rumah sakit pasti melelahkan. Biar Wira yang menemani Aluna,"ucap Wira membuatku melirik pantulan wajahnya dari keran wastafel.
Pria itu dengan asyik menyendokkan puding ke dalam mulutnya. Aku tidak salah lihat, kan. Seorang Wira makan makanan manis di malam hari. Bukannya dia orang yang ketat masalah makanan dan begitu disiplin? Kenapa dia melanggar aturannya sendiri?
"Euluh. Bilang aja kamu mau berduaan dengan istrimu. Ya sudah Bunda ke depan dulu,"ucap Bunda beranjak pergi.
Menyisakan ku dengan beberapa sayur dan lauk yang perlu disimpan dan kanebo kering. Kenapa bisa ada orang yang begitu datar seperti Wira? Dia makan seperti tengah memahami pelajaran saja. Akh, biarlah dia diam saja daripada membuka khutbah seperti biasanya.
"Ini puding terakhir di kulkas. Kamu tidak berniat mencobanya?"tanya Wira membuatku mendongak.
"Hah? Kalau tidak salah lihat tadi ada beberapa cetakan puding,"ucapku mengingat saat memasak tadi sore.
"Telat. Kamu mau atau tidak?"tanya Wira memotong puding dalam ukuran besar.
"Mas saja yang makan,"ucapku.
![](https://img.wattpad.com/cover/322385978-288-k328510.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Saujana Sandyakala ~ Completed
Romance"Kecil, cengeng, ribet, berisik, penakut lagi,"ucap seorang pria mendengus sebal. Kira-kira begitulah komentar Prawira tentang istrinya. Bukan tentang romansa untuk menggoda. Sayangnya dia mengatakan dengan logika. Begitu risihnya pria itu dengan is...