Semilir angin yang bertiup lembut membuatku mengedipkan mata lelah. Entah mengapa rasanya saat ini semua kelelahan begitu menumpuk di pundak. Padahal hanya acara syukuran 4 bulanan. Tapi sukses membuat tubuh ku terasa lelah.
"Mending kamu istirahat, Nilam. Wajahmu terlalu mengindikasikan kelelahan,"ucap Rachel membantu melepas beberapa aksesori kepala.
"Sepertinya setelah hamil aku jadi selemah tahu,"ucapku absurd menghela nafas.
"Hei, Nilam. Jangan lagi melawak di saat yang tidak tepat. Kalau nggak ingat kamu sedang hamil, sudah ku pukul dari tadi. Bibirmu semakin hari semakin absurd saja,"ucap Leni membuatku terkekeh geli.
"Untung Pak Wira mode bahagia. Coba nggak, mungkin kamu sudah di telan hidup-hidup,"ucap Gladis menambahkan.
Iya, ku pikir demikian. Sejak kembali dari rumah Bapak dan Ibu, ku pikir dirinya menjadi lebih sabar. Pria itu lebih memilih mendiamkan ku tanpa ingin banyak berkomentar. Sudah tahu begitu, aku masih saja bertingkah kekanakan.
Krukk
"Eh maaf, ges. Maklum anak kos di pagi hari agak malas masak. Nilam, sepertinya aku harus cari makan dulu di bawah,"ucap Gladis membuatku menggeleng tak percaya.
"Begini modelnya masih yakin di antrean calon istrinya Pak Andika?"tanya Leni menyebut salah satu dosen muda di jurusan.
Sontak kalimat itu membuatku menoleh menatap Gladis penuh tanda tanya? Apa dia tidak salah lihat? Maksudnya, Pak Andika itu terlalu receh untuk ukuran dosen seusianya. Entah seperti apa sifat sebenarnya, tetap saja pria itu seperti musim semi ketika berjalan bersama Wira.
"Nggak usah kaget gitu, Nilam. Meskipun ya sejauh awan, Pak Andika masih bisa di ajak interaksi. Kamu dulu lebih parah, ya,"ucap Leni.
"Seharusnya mumpung disini kamu konsultasi ke Pak Wira, gih. Apa yang membuat dia akhirnya melamar Nilam? Sekalian kamu tanya, Pak Andika itu seperti apa,"ucap Rachel.
"Nah, iya. Ini sih yang dinamakan makan omongan sendiri. Dulu kamu putus dari Rio karena terlalu dewasa. Sekarang bukan lagi sifatnya yang dewasa. Umurnya juga dewasa,"ucapku berdecak heran.
Sementara perempuan yang dimaksud hanya tersenyum sesekali. Semua yang dikatakan memang fakta. Tapi aku pun tidak bisa banyak berkomentar. Masalah hati adalah urusan masing-masing dan tidak ada yang menebak isi hati, kecuali Allah yang mengetahui segala isi hati manusia.
"Ya begitulah. Menjilat ludah sendiri memang lebih nikmat. Nilam, kami turun dulu, ya,"ucap Gladis segera beranjak meninggalkan ku sendiri di kamar.
"Tante, kata Ibu di perutnya Tante ada adek bayi, ya,"celoteh ringan itu membuatku menoleh melihat anak kecil berbaju pink.
Matanya mengamati begitu seksama perut ku yang masih datar. Kedua alisnya bertaut begitu penasaran membuatku tersenyum lebar. Perlahan ku lambaikan tangan agar dirinya memasuki kamar. Tanpa perlu mengatakan kata-kata, dirinya segera beranjak masuk.
"Iya, Kania,"ucapku.
"Tapi perutnya Tante nggak sebuncit punya Ibu,"ucap Kania membuatku terkekeh pelan.
"Adek bayinya masih lama keluarnya. Dia masih kecil,"ucapku membuatnya mengangguk pelan.
Gadis itu beranjak menaiki ranjang duduk di sebelah ku. Dirinya masih begitu penasaran dengan perut ku. Wajahnya begitu mirip Mbak Nadin. Sementara tingkah lakunya agak mirip dengan Pram. Aku malah berharap sebaliknya. Aku ingin anak yang mewarisi wajahnya.
"Tante, adek bayinya juga suka baca buku seperti Om Wira?"tanya Kania nyaris membuatku tergelak.
Beruntung gadis kecil ini yang mengatakan. Coba saja aku yang mengatakan di rumah, alamat gunung api ku akan mengeluarkan lahar dingin mendiamkan seharian. Padahal ku pikir hal itu lucu dan menggemaskan melihat Wira terlihat kesal.
![](https://img.wattpad.com/cover/322385978-288-k328510.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Saujana Sandyakala ~ Completed
Romans"Kecil, cengeng, ribet, berisik, penakut lagi,"ucap seorang pria mendengus sebal. Kira-kira begitulah komentar Prawira tentang istrinya. Bukan tentang romansa untuk menggoda. Sayangnya dia mengatakan dengan logika. Begitu risihnya pria itu dengan is...