Bab 16 : Hangat

54 6 0
                                    

Pagar rumah yang tampak jelas di depan mata membuatku menghela nafas panjang. Aku khawatir pertemuan ku dengan Wira harus terpaksa di usai kan seperti sebelumnya. Namun aku juga tidak bisa kabur begitu saja. Dengan langkah kecil tanpa tergesa, aku mendekati teras rumah.

Wira seolah tidak punya keraguan sama sekali berjalan dengan santai seraya mengucapkan salam. Tidak butuh waktu lama untuk mendapatkan jawaban dari penghuni rumah.

"Wa'alaikumussalam. Loh, Nilam. Kok kamu bisa bersama Mas Wira?"tanya Ibu mengernyitkan keningnya heran.

"Sebelumnya saya minta maaf, Bu,"ucap Wira sontak membuat Ibu menatap kami dengan tatapan tajam.

Bapak yang baru saja tiba di rumah tampak heran dengan kehadiran kami secara bersamaan. Pria itu terlihat curiga dalam tenangnya sembari memarkirkan sepeda.

"Ada apa ini? Ayo masuk dulu, Mas Wira. Nilam, katanya kamu menginap di rumah Leni semalam. Mana Leni?"tanya Bapak bertubi-tubi membuatku cemas.

Aku tidak menyiapkan apapun untuk menjawab semua pertanyaan itu. Sepertinya berbeda dengan Wira yang terlihat tenang. Padahal dia adalah pelaku penyebab semua masalah pagi ini.

"Pak, Bu. Saya mau menanyakan kembali status hubungan pernikahan ini. Karena sejak semua barang Dek Aluna dibawa pulang sampai sekarang saya belum berniat atau mengatakan apapun untuk melepasnya. Bagaimana hukumnya?"tanya Wira membuatku ingin menjadi penonton di tempat lain.

"Kenapa Mas? Bukankah saya meminta Mas Wira membatalkan pernikahannya dengan Nilam?"tanya Bapak.

Atmosfer ruangan ini menjadi begitu panas seiring dengan berjalannya waktu. Aku tidak tahu bagaimana cara Wira akan mengatakan niatnya kemarin dan alasan diriku bisa tidak pulang semalam.

"Iya, Pak. Tapi saya tidak punya alasan untuk itu,"ucap Wira.

Ibu yang sedari tadi diam tiba-tiba menyentuh pundak ku. Perempuan itu menatapku dengan tatapan curiga. Aku tidak tahu akan mendapatkan setelah ini. Sungguh, aku ingin kabur dari tempat ini. Tapi lari akan menambah banyak masalah.

"Apakah kondisi Nilam belum cukup untuk melepaskannya, Mas? Anda boleh mengambilnya lagi jika Anda mau. Tapi izinkan saya sebagai orang tuanya membawanya berobat dulu. Bagaimanapun hubungan pernikahan itu antar dua keluarga. Kondisi Nilam itu membuat kami sebagai pihak perempuan malu, Mas,"ucap Bapak.

"Maaf menyela. Tapi tidak ada yang memalukan atas kondisi Nilam, Pak. Asalkan dia baik-baik saja itu tidak masalah. Bagi saya pernikahan juga bukan sekedar tentang keturunan. Saya melihat anak dan menantu saya bahagia satu sama lain sudah cukup".

Akh, ya.

Bunda datang di waktu yang tepat. Jika saja hanya kami berdua tentu sudah terkena bantai tanpa henti. Terlebih Ibu tidak melepas pandangan curiganya dari ku sama sekali. Aku seolah tengah di interogasi oleh bareskrim saja.

"Benar, Bu Khajidah. Tapi bagaimana stigma masyarakat nantinya. Putri kami cukup lemah mendengar hal buruk yang demikian,"ucap Bapak sembari mempersilahkan duduk.

"Sebentar, Pak. Kamu tidak berbohong ke Ibu tentang menginap di rumah Leni, kan,"ucap Ibu membuatku bingung.

Aku tidak tahu harus menjawab apa untuk menjelaskan alasan yang sebenarnya ulah Wira. Keringat dingin mulai bercucuran membuatku menunduk dalam. Aku tidak mungkin berbohong pada kedua orang tua ku. Tapi Wira juga belum angkat suara.

"Nilam, memang tidak berniat menginap dimanapun. Nilam berencana pulang,"ucapku belajar dari didikan pria itu.

Meskipun nanti akan beralasan. Setidaknya harus mengutamakan kejujuran terlebih dahulu. Bapak yang mendengarnya kaget bukan kepalang menatap sangar diri ku. Aku hanya bisa menitikkan air mata di tengah rasa takut yang begitu hebat.

Saujana Sandyakala ~ CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang