Bab 23 : Luka

63 5 0
                                    

Mata ku menatap kedua kaki yang bergelantungan di brankar. Aku masih mengenakan pakaian rumah sakit dengan selang infus melekat di lengan. Semua bagian tubuh ku terasa berbeda. Perut ku masih terasa begah padahal isinya sudah ku keluarkan satu jam lalu.

Dengan menelan semua sakit yang tidak bisa ditawar itu membuatku berkeringat dingin. Bahkan saat berdiri sejenak terasa menyakitkan. Tubuh bagian bawah ku terasa berbeda tidak lagi sama pasca melahirkan. Aku merasa diri ku benar-benar berbeda dari sebelumnya.

"Apa yang kamu pikirkan?"tanya Wira mengambil kursi duduk di depan ku.

"Saya pikir tubuh saya terasa berbeda. Perut saya masih terasa begah meskipun sudah tidak ada isinya. Saat saya berjalan pun rasanya menyakitkan,"ucapku.

Wira beranjak memeluk ku erat. Pria itu lebih aneh lagi. Untuk apa dirinya memeluk ku? Bukannya aku merasa sedih tubuhku terasa aneh. Aku hanya sedang bertanya-tanya dengan diri ku saja. Aku seperti tidak memiliki tubuh yang sama. Seolah persalinan membuat tubuh yang ku miliki diganti dengan tubuh lain.

"Mas, apa tubuh saya bisa terasa seperti sebelumnya lagi?"tanyaku mendongak menatapnya lekat.

"Ada perawatan yang bisa kamu lakukan selepas persalinan. Tapi untuk membuat lukanya sembuh dalam sekejap itu mustahil,"ucap Wira membuatku mengangguk mengerti.

Baru saja mau mengatakan kalimat lain, bibir ku terbungkam begitu saja begitu melihat Wira menatapku sendu. Ada apa dengannya? Mengapa kanebo kering ku menjadi melakonlis? Siapa yang mengajarkan padanya bertindak begitu lemah?

"Maaf sudah sering memarahimu,"ucap Wira membuatku mengedipkan mata tidak percaya.

"Mas, kenapa Anda menjadi melakonlis? Apa selama persalinan tadi jiwa Anda tertukar dengan jiwa saya?"tanyaku heran.

Pria itu hanya diam saja beranjak mengambil bubur yang telah disajikan dari rumah sakit. Akh, sejujurnya makan berat ataupun ringan sangat tidak ku inginkan saat ini. Dengan kondisi tubuh ku, untuk buang air kecil saja begitu pedih. Bagaimana mau buang air besar?

"Mas. Bisakah saya makan nanti saja? Sejujurnya saya masih shock dengan banyak perubahan dalam sekejap,"ucapku membuatnya menaruh kembali mangkuk.

Belum lagi darah nifas yang terus mengucur deras membuatku benar-benar tidak bisa banyak bergerak. Apa ini yang dirasakan semua ibu hamil? Atau hanya diri ku saja yang merasa demikian? Semua pertanyaan itu hanya menggantung di kepala.

"Mas, kenapa Anda disini? Dimana putri kecil kita?"tanyaku baru menyadari hal itu.

"Dia bersama para orang tua diluar. Saya pikir ada yang perlu saya temui dulu dibandingkan dirinya,"ucap Wira membuatku mendongak.

"Dia tidak masalah, kan. Mas, apa dirinya mengidap cacat seperti ku?"tanyaku membuatnya menepuk kedua pundak menenangkan.

"Ibunya hadir lebih dulu dibandingkan anaknya. Ibunya yang merasakan pedihnya bukan anaknya. Lantas mengapa saya melihat anaknya lebih dulu? Saya sudah melihatnya dan mengumandangkan adzan,"ucap Wira membuatku menghela nafas lega.

Namun kalimat yang pertama kali dirinya katakan membuatku terdiam mencoba mengerti. Wira tidak sedang mencoba mengatakan dirinya khawatir dengan kondisi ku, kan. Rasanya sudah lama aku berkeluh dengan hati. Mataku melirik gelang bewarna pink di pergelangan tangan.

Diriku rupanya sudah menjadi seorang Ibu saat ini. Ibu dari anak perempuan laki-laki yang ku cintai. Dada ku terasa sesak mengingat kembali bagaimana kemurahan hati Allah memberikan Wira sebagai jawaban seluruh doa ku.

"Apa masih terasa menyakitkan?"tanya Wira membuatku mendongak menatapnya berkaca-kaca.

"Sejujurnya saya tidak mau lemah. Tapi saya pikir memang masih terasa menyakitkan padahal sudah satu jam lalu. Mas, saya tidak mau manja hanya saja mengapa rasanya aneh begini? Seolah tubuh ini bukan milik saya.

Saujana Sandyakala ~ CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang