Bab 14 : Serpihan Debu

43 4 0
                                    

Gadis konyol.

Hanya ada satu kata itu saja yang terpikir dalam kepala ku. Bagaimana tidak? Gadis konyol itu membuatku terjaga sepanjang malam dengan rasa rendah diri begitu tinggi. Klip film yang dirinya berikan membuatku kembali berpikir siapa diri ini?

Suara angin yang meniup lonceng angin di teras rumah membuatku menghela nafas berulang. Pak Wira kenapa ujian ku menjadi dua kali lipat dari ujian biasanya? Kenapa Anda membuatku kehilangan daya bahkan sekedar untuk mengingatmu.

Rasa rendah diri ku kian bertambah saat Gladis bercerita Wira terlibat dalam sebuah agenda bersama dosen muda dari jurusan lain. Aku mengingat di kampus ku ada berbagai dosen muda dengan kecerdasan tidak perlu diragukan lagi dan wajah menawan.

Selama aku belum selesai menyusun perancangan dan berangkat pergi berobat, kemungkinan baginya bertemu perempuan baru sangat besar. Rasanya aku perlu untuk berjalan mundur dalam berjuang. Perancangan saja masih terus revisi tanpa usai. Bagaimana mungkin bisa berangkat berobat jika begitu?

"Katanya besok sidang? Kenapa malah melamun di sini?"tanya Ibu membuatku mendongak.

"Bagaimana Nilam mau belajar sedangkan hati saja masih belum tenang?"tanyaku.

"Dengarkan ini. Sesuatu yang menjadi takdirmu pasti kembali padamu. Lepaskan dia, kalau memang milikmu pasti kembali,"ucap Ibu.

Entah mengapa kalimat singkat itu cukup menusuk benak ku begitu dalam. Aku selalu mencintainya dengan begitu tulus tanpa peduli dirinya suka atau tidak. Kebodohan yang menyia-nyiakan. Logika ku dengan mudah bekerja menguraikan duka. Namun aku akan kembali tidak berdaya ketika mata ku bertemu dengannya.

"Mas Wira menelfon Ibu. Dia mau berkunjung ke rumah. Kamu mau menemuinya?"tanya Ibu membuatku mendongak.

"Tidak perlu, Bu. Nilam berkata demikian karena pusing dengan tugas saja. Nilam akan belajar sekarang,"ucapku segera beranjak ke kamar.

Bertemu dengannya secara langsung malah membuatku terjerat dalam duka mendalam. Aku hanya ingin berlatih menjauh dari Wira saja. Aku khawatir kalau melihatnya lagi rasa ku padanya semakin besar. Potret pernikahan yang selalu ku lihat setiap kali memasuki kamar membuat bibir ini tersenyum dengan sendirinya.

Ponsel ku lagi-lagi menampilkan panggilan darinya. Sontak membuatku menghela nafas lelah. Tidakkah dia lelah untuk menghubungi ku? Aku tahu hubungan antara kita bukan hanya tentang pernikahan saja. Nasib perancangan ku juga ada di tangannya. Tapi maafkan aku kalau tidak bisa memisahkan antara pribadi dan juga kuliah.

Ck.

Baru saja aku mengatakan mau belajar, kebodohan hakiki kembali ku temukan. Bagaimana bisa aku lupa belum menggandakan file untuk besok? Dengan berat hati akhirnya ku langkahkan kaki beranjak memasang jilbab dan masker sekenanya.

"Loh, mau kemana?"tanya Ibu masih bertahan di ruang tamu.

"Nilam lupa belum fotokopi buat besok,"ucapku sebal.

"Biar Ibu minta tolong Bapak saja. Kamu sedang tidak stabil sekarang. Berbahaya kalau berkendara sendirian,"ucap Ibu cemas.

"Tidak masalah, Bu. Aku baik-baik saja,"ucapku menyalakan motor keluar dari lelah.

Kompleks yang lama tidak pernah ku kunjungi dalam beberapa waktu terakhir banyak berubah. Danau kompleks yang dulunya tidak memiliki pembatas dan dermaga menjadi begitu indah. Bahkan ada beberapa taman kecil dalam setiap blok. Pemandangan indah dari jalanan yang rapi cukup menghibur mata.

Makhluk pecinta alam seperti ku tidak sulit menyembuhkan diri dengan alam. Sayangnya sejak kecil Ibu begitu melarang mengikuti kegiatan pecinta alam. Dia mengatakan, aku perempuan dan berbahaya kalau berangkat hanya sendiri tanpa orang tua. Masalahnya yang berada dalam stigma Ibu adalah beberapa orang hilang saat mendaki atau kesurupan.

Saujana Sandyakala ~ CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang