Epilog

73 5 0
                                    

Sorakan riuh sepanjang pertandingan berlangsung sesekali memekakkan telinga. Sebuah rutinitas umum antar mahasiswa untuk mengisi waktu luang tidak pernah gagal mengundang banyak kaum hawa. Dibandingkan beberapa pria yang berjalan menyapa para perempuan itu, seorang lainnya berjalan menyendiri.

Daun yang berguguran tampak dari luar gedung pertanda tengah musim gugur. Sepertinya saatnya untuk menyampaikan salam pada seluruh keluarga beserta potret terbaru. Entah apa yang sedang terjadi di rumah, aku hanya berharap semuanya akan baik-baik saja.

"Wira, permainanmu hari ini mengesankan".

Sapaan itu sontak membuat sosok yang dimaksud segera berdiri memberi jarak. Dirinya sudah hafal beberapa saat kemudian akan ada gadis yang berusaha mendekatinya. Baginya di luar negeri jauh lebih mengerikan. Bahkan usia yang memasuki kepala empat bukanlah penghalang. Itu menjadi kesulitan untuk diriku sendiri.

"Saya hanya bermain biasa saja. Maaf saya harus pergi,"ucapku pamit beranjak meninggalkan gedung.

Itulah alasan ku paling utama enggan masuk di klub olahraga mereka. Aku tidak suka terlihat populer di kalangan kaum hawa. Mereka terlalu berani untuk diriku yang tidak berniat mencari pasangan. Baru saja beranjak, salah seorang perempuan kembali mencegah langkah ku. Gadis berhijab dengan wajah Eropa itu terkekeh geli.

"Wira tidak pernah merayakan kemenangannya dalam hal apapun,"ucapnya membuatku menghela nafas panjang beranjak pergi.

"Tidak ada yang perlu dirayakan. Apa yang membuatmu kemari?"tanyaku mengeluarkan kamera.

"Menjemputmu pulang, Wira. Aku tahu hari ini kamu pasti akan mengirim potret kota London untuk keluargamu. Jadi, aku ingin menemanimu,"ucap Namira membuatku mengangguk pelan.

Pemandangan indah sepanjang jalan menuju apartemen ini adalah hal bahagia yang selalu dinanti Pram dan istrinya. Dengan melihat ini, mereka akan mengerti kondisi ku baik-baik saja. Sejenak mataku melirik pemain biola yang sedang menunjukkan bakatnya. Gadis itu memiliki tinggi sebahu dengan rambut pirangnya.

"Apa kamu menikmati permainan biolanya?"tanya Namira membuatku menggeleng melanjutkan perjalanan.

Setiap kali aku melihat gadis muda seusia mereka membuatku mengingat kembali gadis yang pernah mengisi hati. Kebodohan ku yang ke sekian kalinya membuatku melepaskannya jauh hingga tidak bisa ditemui lagi. Dengan segala bujuk rayu semua pihak, akhirnya aku memilih melanjutkan studi di London sekaligus menghibur diri sejenak.

"Aku heran denganmu, Wira. Padahal kamu sendiri yang mengatakan ingin seperti Nabi Muhammad. Tetapi dia pun menikah,"ucap Namira menyerahkan beberapa lembar foto dari sisi lain kota.

"Menjadi seperti Baginda Nabi bukan hanya tentang pernikahan. Masih banyak amalan dan sunnah yang bisa dilakukan, Namira,"ucapku berhenti di kedai.

Gadis berwajah Eropa yang ku temui dua tahun lalu tanpa sengaja saat hendak pulang dari masjid itu telah banyak berubah. Aku tidak sengaja menemukannya tengah mabuk hingga tak sadarkan diri dengan luka lebam di wajahnya. Rupanya dia juga satu kampus dengan ku menjadikannya semakin mudah melihat kondisinya.

Allah yang maha membolak-balikkan hati hamba Nya. Dengan mudahnya hidayah itu datang dan merubah dirinya menjadi pribadi baru. Sayangnya yang membuatku masih merasa berat adalah harapan pada dirinya. Dia masih bisa mendapatkan pria seperti yang dirinya inginkan dan masih banyak diluar sana. Bagiku kehidupan ini bukan untuk mencari pasangan hidup.

Aku sudah memilikinya hanya sedang berpisah jarak.

Itu kalimat yang selalu aku katakan setiap kali ada pertanyaan serupa. Aku tidak ingin melepaskannya dari ingatan. Aku lebih senang membiarkan ingatan itu seperti roll film yang terngiang sepanjang malam saat menjelang tidur.

Saujana Sandyakala ~ CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang