Bab 32 : Ujian

26 4 0
                                    

Manik mata ku masih terpaku menatap layar laptop yang menampilkan kerangka berpikir untuk penelitian. Sudah dua jam berlalu semenjak meninggalkan rumah sakit. Tetapi hatiku masih tidak bisa tenang sebagaimana semua harapan setelah melamar Arini. Aku masih berputar dalam pikiran yang sama memikirkan gadis itu.

Pintu kamar ku terdengar terbuka. Sontak membuatku segera menoleh menatap Bunda beranjak memasuki kamar. Bahkan aku tidak menyadari sudah jam 3 pagi. Aku masih terjaga dengan pikiran yang sama memilih mematikan laptop.

"Apa yang membuatmu terjaga, Nak? Mengapa Bunda merasa ada yang mengganjal setelah melamar Arini?"tanyanya.

"Ini bukan tentang Arini, Bun. Melainkan mahasiswi ku yang sedang kritis di rumah sakit. Rupanya aku baru mengingat, dia adalah perempuan yang membuatku merasa risih dengan tingkah lakunya. Tetapi melihatnya hanya bisa terbaring diantara hidup dan mati membuatku tidak tenang.

Bapak dan Ibunya bahkan sudah begitu lapang menerima dengan ikhlas takdir terburuknya. Aku jadi teringat saat dulu menunggu Ayah di rumah sakit, Bun. Kala itu, hati kita tidaklah bersiap seperti mereka. Apa mungkin karena menyiapkan hati yang lapang menerima takdir, Allah akan mengembalikan gadis itu?"tanyaku.

Bunda hanya tersenyum mengurai rambut ku memijatnya perlahan. Kematian itu salah satu rahasia takdir yang tidak bisa diterka kapan tibanya. Banyak orang diluar sana begitu siap menghadapi mati malah lebih lama dipanggil dibandingkan para pemabuk  di bar. Aku tidak bisa berhenti berpikir barang sejenak setelah meninggalkan rumah sakit.

"Aluna. Bunda lebih suka memanggilnya demikian karena manis seperti wajahnya. Kasih sayang mereka berbeda dengan apa yang kamu gambarkan. Mereka lebih senang putrinya tidak lagi merasakan sakit terus menerus,"ucap Bunda.

"Tetap saja membuatku tidak tega, Bun. Apa tidak ada yang bisa dilakukan untuk menolongnya?"tanyaku.

"Kenapa kamu tanya Bunda, Nak? Bukankah calon istrimu seorang dokter penyakit dalam? Mengapa kamu tidak bertanya padanya saja?"tanya Bunda membuatku menghela nafas panjang.

Arini adalah perempuan dengan tingkat cemburu yang tinggi. Jika normalnya untuk marah seseorang memerlukan alasan. Maka Arini akan mencari alasan dan masalah dalam hubungan. Bagaimana mungkin aku malah bertanya sesuatu yang terasa tidak mungkin seperti itu? Bahkan aku pun merasa tidak perlu menanyakan lebih jauh.

Hubungan ku dengan Aluna tidak lebih dari seorang dosen pada mahasiswa. Aku tidak boleh berlebihan dan harus memberi batasan. Lebih baik aku menata diri untuk mempersiapkan menuju mimbar pernikahan dan membangun sebuah keluarga dengan Arini. Sudah banyak waktu terbuang hanya untuk memikirkan hal lain.

"Jadi, kapan rencanamu untuk menikah? Dokter Shindi sudah menghubungi Ibu perihal kabar baik ini. Kalau bisa jangan banyak menunda waktu, Nak,"ucap Bunda membuatku mengangguk pelan.

"Pekan depan sudah memasuki waktu cuti. Sepertinya akan ku maksimalkan mengurus berbagai surat dan keperluan lainnya,"ucapku.

"Cepat bukan berarti terburu-buru, Nak,"ucap Bunda.

"Bukan, Bun. Hanya saja, semakin lama menunggu akan membawa semakin banyak keraguan,"ucapku.

Belum genap sehari setelah melamarnya saja benakku langsung dihantui rasa ragu. Apalagi menunggunya lebih lama. Dibandingkan diriku, aku yakin Arini lebih tahu dan sudah mengerti untuk mengurus masalah dekorasi dan sejenisnya. Perempuan itu lebih tahu sesuatu yang abstrak seperti dekorasi dan baju pengantin.

Hah.

Setidaknya pikiran ku lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Meskipun lebih berat, pernikahan ini masih bisa ku kontrol dari berbagai sisi. Sementara kematian, aku hanya bisa menjadi saksi hidup diantara perpindahan jiwa ke alam lain. Aku tidak punya kendali atasnya sama sekali. Hal itu jauh lebih membuatku berada dalam kekhawatiran semu.

Saujana Sandyakala ~ CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang