Bab 27 : Ragu

27 4 0
                                    

"ALUNA!?".

Kedua mataku terbuka bersamaan dengan bangkit terdiam menatap berbagai piranti medis melekat di atas tubuh. Mimpi apa itu? Mengapa semuanya terasa nyata? Bahkan air mata masih terasa membasahi pipi. Ingatan ku terpaut beberapa waktu saat mengendarai motor dan menabrak truk.

Tidak.

Rasanya aku sudah melalui hal yang panjang. Seolah telah melakukan hal indah selama bertahun-tahun. Baru saja hendak beranjak, pintu terbuka bersamaan rombongan para dokter menatapku penuh rasa syukur.

"Alhamdulillah. Anda sudah sadar dari koma pasca operasi. Kondisi Anda saat ini masih lemah dan harus beristirahat terlebih dahulu,"ucap seorang dokter membuatku mengangguk pelan.

"Berapa lama saya koma, Dok?"tanyaku merasakan nyeri hebat di kepala.

"Dua bulan,"ucapnya membuatku menghela nafas pelan.

Aku hanya berbaring dua bulan sudah seperti berlarian kemana-mana dengan membawa rasa bahagia. Entah apa yang sebenarnya terjadi? Kalaupun aku telah usai operasi seharusnya tubuhku tidak menjadi begitu lemas tanpa kaku. Bahkan aku sudah bisa duduk meskipun masih sedikit pusing. Sepertinya benturan di kepala ku cukup parah hingga saat mengusap wajah terasa sedikit bekas jahitan.

"Terima kasih sudah menolong saya, Dok,"ucapku tersenyum lebar.

"Saya hanya pionir saja, Pak Wira. Sementara Anda harus tetap berada di rumah sakit untuk memulihkan kondisi sebelum pulang,"ucapnya.

Kalimat klasik dokter sepertinya tidak ada salahnya. Hanya Allah saja yang memiliki kekuasaan untuk mengembalikan dan mencabut kontrak kehidupan di dunia. Mereka hanya tangan yang dengan izin Allah mengembalikan nyawa ku.

Sepeninggal para rombongan jas putih berlalu, mata ku melirik sebuah bunga melati yang begitu semerbak. Bahkan harumnya begitu memenuhi ruangan seperti saat mata ku tertidur entah berapa lama. Hah, entah berapa hari untuk menggantikan waktu yang tertinggal di mata kuliah ku.

"Kamu terlihat sehat, Nak".

Kalimat itu membuatku menoleh menatap seorang perempuan berjilbab lebar. Dirinya pasti sudah cukup cemas mendengar kabar kecelakaan naas ku. Matanya saja sampai menampilkan bekas tangis. Dia memang selalu ada dalam suka dan duka ku.

"Alhamdulillah, berkat doa Bunda,"ucapku mencium punggung tangannya.

Namun bukannya tersenyum senang, perempuan itu malah menitikkan air matanya. Perempuan memang sulit dimengerti rupanya. Kenapa dia malah menitikkan air mata, sedangkan diri ku begitu sehat di depannya? Kalaupun tentang masa kritis kemarin, biarlah berlalu.

"Bunda, Wira sekarang sudah sehat. Jangan sedih begitu, lah,"ucapku tersenyum lebar.

Perempuan ini memang selalu ada di saat susah dan sedih ku. Sepertinya kecelakaan yang ku alami membuatnya benar-benar hancur saat itu. Terlebih sampai jatuh koma. Tapi mau bagaimana lagi? Malang tidak bisa di tolak maupun di tawar.

"Bunda hanya terharu, Nak,"ucap Bunda membuatku menggeleng tak lagi heran.

Inilah sulitnya mengerti seorang perempuan. Karena apa yang mereka katakan sulit untuk dicerna. Padahal kalau dipikir, dirinya bisa memilih tersenyum senang. Ini malah bercucuran air mata terharu. Sungguh istimewanya seorang perempuan tidak pernah ku duga.

"Kamu jangan bergerak dulu, Nak. Sebentar Bunda ambilkan minum,"ucap Bunda beranjak menuangkan air.

Aku tidak mengerti entah mengapa semua Ibu pasti berpikir berlebihan. Apa di matanya aku sudah akan pergi? Kenapa dia malah meneteskan air mata begitu banyak? Apa dia berpikir aku sudah menunjukkan tanda-tanda kematian?

Saujana Sandyakala ~ CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang