Bab 3 : Pelanggaran Pertama

74 6 0
                                    

Mata ku melirik jam tangan dan ponsel berulang. Sudah 15 menit aku duduk di teras masjid menunggu ojek online tapi tidak kunjung tiba. Kalau saja aku pulang setelah  mungkin tidak akan membawa ke suasana yang menakutkan begini.

Baru saja tadi pagi Pak Wira menyatakan beberapa aturan di rumah dan aku sudah melanggar. Masalahnya mana mungkin aku kabur dari tanggung jawab yang sudah ku emban. Apa aku menghubungi dia untuk konfirmasi dulu ya? Atau seperti apa? Ini juga kenapa driver ojek online lama sekali.

Belum sempat mengetik pesan, terlihat panggilan suara dari pria yang sedari tadi ku pikirkan.

"Dimana?".

Dari suaranya saja sudah terdengar begitu dingin. Aku jadi takut mau pulang kalau begini. Bisa-bisa aku habis di marahi ketika sampai di rumah.

"Masih di masjid, Pak. Saya masih menunggu ojek online menjemput,"ucapku hati-hati.

"Sudah makan?".

Haduh. Untung pria itu menanyakan perihal makan. Allah Maha Baik membuatku menunggu karena belum menghabiskan kotak bekal pemberiannya. Akh memang tidak ada sesuatu yang sia-sia dalam setiap perjalanan hidup.

"Sudah, Pak,"ucapku baru mau melanjutkan makan.

"Kalau sampai jam 7 belum di jemput telfon saya,"ucapnya sebelum memutuskan panggilan.

Satu hal yang membuatku harus bertanya pada pria itu setelah pulang adalah porsi makan siang. Mengapa dia memberikan makan siang dalam porsi besar? Apa dia pikir aku akan menghabiskan makanan sebanyak itu? Meskipun mengomel, mau tidak mau aku tetap berusaha mengunyah dengan cepat.

"Dek Nilam, pesan ojek online?".

Pertanyaan itu sontak membuatku mendongak menatap seorang perempuan yang turut bergabung. Wajahnya yang sangat familiar membuatku tersenyum kecil sebelum menjawabnya.

"Iya, Kak. Sudah ada kah, Kak?"tanyaku.

"Sudah ada di depan, Dek. Habiskan saja dulu makannya. Saya tadi sudah bilang mungkin sedang sholat. Adek nggak di jemput suami?"tanyanya.

Yah, perempuan di depan ku tergolong orang terdekat. Tentu saja aku mengundang saat akad semalam. Hanya saja yang dia pikirkan tentang hubungan ku dan suami bukanlah dua orang kasmaran menikah.

"Kami sudah sepakat untuk beberapa hal, Kak. Termasuk masalah berangkat dan pulang kuliah. Karena saya masih kuliah dan belum mempublikasi hubungan, tidak pantas rasanya kalau terlihat bersama meskipun suami istri. Hanya saja saya saat ini sedang khawatir karena pulang terlalu sore,"ucapku sembari membereskan kotak bekal.

"Nanti coba di jelaskan baik-baik saja suami adek. Ajak ngomong pelan-pelan,"ucapnya membuatku mendongak.

Perempuan di depan ku sudah tahu karakter Wira dan dirinya juga yang sempat menahan melangkah menuju jenjang pernikahan. Tidak lain sama seperti kedua orang tua ku, mana mungkin ada yang mau anaknya menikah dengan pria temperamen. Sedangkan sepanjang usianya dirinya selalu dipenuhi dengan kasih sayang.

"Iya, Kak Dila. Saya juga berniat begitu, hanya saja mungkin lain kali harus mengatur jadwal agar yang begini tidak terulang lagi,"ucapku.

"Fii amanillah, Dek. Semangat ya,"ucap Dila mengantar sampai ke driver ojek online.

Senyum ku mengembang lebar sembari melambaikan tangan pada perempuan berwajah teduh itu. Mata ku melirik ponsel yang kembali bergetar. Rupanya Wira kembali menelfon ku.

"Belum di jemput?".

"Sudah, Pak. Masih di perjalanan pulang,"ucapku.

"Oke,"ucapnya singkat sebelum memutuskan panggilan kembali.

Saujana Sandyakala ~ CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang