Angin sepoi-sepoi dari jendela kamar menyambut ku begitu memasuki kamar. Setelah dua hari berada di rumah sakit, Dokter Fatimah akhirnya mengizinkan ku membawa pulang Ashifa. Bayi manis yang menjadi bunga baru bagi dua keluarga. Anak itu tengah tertidur pulas setelah kekenyangan.
Tidurnya begitu lelap dan tenang seperti Wira. Sesekali dirinya bangun saat Ayahnya mulai beranjak pergi. Bahkan dirinya terkadang menangis tiada henti. Sungguh, dirinya cukup mewakili apa yang selalu ingin ku katakan pada Ayahnya.
Mataku tertuju pada potret pernikahan yang terpajang bukan lagi di atas meja belajar ku. Melainkan di atas ranjang dalam ukuran begitu besar. Hingga semua orang yang masuk akan melihat potret kami disana. Sepertinya Wira telah menaruhnya terlebih dahulu sebelum aku dan Ashifa pulang.
"Apa kamu tidak lelah sedari tadi berdiri?".
Pertanyaan itu membuatku berbalik menatap Wira membawa tas berisi perlengkapan selama melahirkan. Dirinya lantas meletakkan tas di atas lemari sebelum beranjak berbaring.
"Sekarang tidak ada lagi beban yang saya bawa kemana-mana. Mas, sudah makan?"tanyaku beranjak duduk di tepi ranjang.
"Belum,"ucap Wira segera bangkit.
Dua hari ini dirinya bertingkah cukup aneh membuatku terkadang tersenyum geli. Dibandingkan dirinya yang keras kepala, pria itu malah cenderung manja. Sesekali dirinya sengaja menunda makan sampai aku menanyakan. Bahkan untuk hal kecil pun sengaja tidak dilakukan menunggu komentar ku dahulu.
"Mas, sekarang jadi manja ya,"ucapku terkekeh geli.
"Bukan manja, sih. Sejak ada Ashifa perhatianmu lebih condong padanya. Saya khawatir kamu bahkan tidak memperhatikan dirimu sendiri. Kamu juga belum makan, bukan. Ashifa memang penting, tapi kamu harus tetap memperhatikan dirimu sendiri juga, Aluna,"ucap Wira mengambil tangan ku.
Wira mengeluarkan sebuah kotak dari kantongnya membuatku mengernyitkan kening heran. Pria itu beranjak berpindah ke belakang tubuh ku. Sebuah kalung dengan liontin mutiara berkilauan membuatku tersenyum lebar.
"Mas,"ucapku menatapnya berbinar.
"Saya diberi penduduk lokal. Katanya hadiah untuk istri setelah melahirkan. Saya tidak tahu ternyata secantik itu,"ucap Wira menepuk bahu ku.
Belum sempat menyatakan terima kasih, Ashifa seolah mengerti kapan dirinya akan diabaikan sontak merengek. Wira segera menepuknya pelan membuat bayi mungil itu kembali terlelap.
"Kenapa kamu cemburu dengan Bundamu, Dek? Bunda juga mau di manja Ayah,"ucap Wira melirikku.
Sontak membuat kedua pipi ku memerah memalingkan pandangan. Hormon pasca melahirkan sesekali membuatku selalu mencari keberadaan Wira. Sesekali tanpa sadar malah bermanja padanya. Beruntung dirinya sedikit lunak padaku tidak lagi disertai bentakan lagi.
"Dek, sebaiknya tinggal di rumah Bunda saja ya sampai Ashifa besar. Bagaimana kalau terjadi sesuatu saat saya ke kampus? Belum lagi belum boleh terlalu banyak kegiatan di rumah,"ucap Wira tampak cukup cemas.
"Saya mau di rumah saja, Mas. Kata Ibu mau menjenguk Ashifa setiap hari. Tidak perlu khawatirkan saya dan Ashifa, Mas. Mahasiswa di kampus sudah rindu belajar bersamamu,"ucapku menatapnya lekat.
Sejenak ku buka lemari mengeluarkan satu pasang kemeja dan celana. Tanpa meninggalkan sepasang sepatu hitam yang membuat derap langkahnya meninggalkan memori tersendiri. Wira duduk di atas meja menatapku tidak suka seluruh pakaiannya untuk mengajar telah siap.
"Saya ingat sepatu itu masih kotor setelah pulang dari kampus kebanjiran di jalan. Kenapa sudah mengkilap seperti sudah di cuci?"tanya Wira mencekal lengan ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saujana Sandyakala ~ Completed
Romance"Kecil, cengeng, ribet, berisik, penakut lagi,"ucap seorang pria mendengus sebal. Kira-kira begitulah komentar Prawira tentang istrinya. Bukan tentang romansa untuk menggoda. Sayangnya dia mengatakan dengan logika. Begitu risihnya pria itu dengan is...