Bab 25 : Retakan Pilar

45 7 4
                                    

Alarm panjang membuatku tersenyum kecil. Tidak beberapa lama kemudian, alarm lain kembali berbunyi membuatku menggelengkan kepala perlahan. Sebuah tangan besar lantas melingkar di pinggang ku seraya mencium pipi.

"Masih pagi sudah masak, Dek,"ucap Wira.

Belum sempat menjawab pertanyaan Wira, sebuah tangan kecil sibuk memeluk kaki ku. Sebuah aktivitas baru yang ku jalani semenjak Ashifa sudah bisa berjalan. Bahkan dia menjadi sangat cerewet membuat Bunda sampai kewalahan setiap kali berbincang.

"Sayur sopnya sudah matang. Tapi boleh dimakan setelah mandi,"ucapku menyiapkan cangkir kaca dan cangkir plastik mungil.

Terdengar helaan nafas disertai ocehan kecil sebelum keduanya memilih beranjak pergi. Aku pernah mendengar Bunda bercerita bagaimana manjanya Wira dan Pram di pagi hari. Rasanya hal itu benar terjadi pada ku. Dua manusia itu tidak pernah lupa mencari ku saat kedua matanya terbuka.

Sebagaimana Wira yang masih membatasi ku dalam mengurus rumah, aku harus bangun lebih pagi untuk melawan semua aturannya. Dirinya susah bekerja diluar sana dan akan sangat melelahkan untuk tetap mengerjakan pekerjaan rumah. Baru berjalan menuju kamar, mata ku sudah disambut dengan ranjang rapi.

Wira terbiasa membersihkan kamar terlebih dahulu sebelum dirinya keluar kamar setelah tidur. Bahkan dirinya selalu sempat meninggalkan post it di samping lampu tidur.

"Adiknya Ashifa sudah minta di jemput. Ayo kita jemput di Lauh Mahfudz".

Heuh.

Wira dan keinginannya memiliki anak lagi masih membuatku migrain. Ashifa masih terlalu kecil untuk mempunyai saudara lagi. Aku khawatir setelah kelahiran Adiknya akan memicu kurangnya kasih sayang. Aku ingin membesarkan dirinya dengan baik dahulu sebelum memutuskan memiliki anak lagi.

"Dek, saya tidak menemukan pakaian sama sekali,"bisik Wira membuatku merona.

"Mas,"ucapku malu.

Pria itu seharusnya mengingat usia dan berhenti mengeluarkan godaan seperti itu. Belum lagi kalau terdengar di telinga putrinya akan selalu diingat dan ditanyakan setiap waktu.

"Selalu saja seperti tomat,"ucap Wira memberikan handuknya.

"Buna,"celoteh anak manis ku.

Anak itu tidak mau kalah dari Ayahnya untuk urusan apapun. Melihat Ayahnya minta dikeringkan rambutnya membuatnya segera memberikan handuk. Belum lagi ekspresinya yang begitu sombong pada Wira karena berhasil membuatku menggendongnya sangat menggemaskan.

"Curang. Seharusnya Ayah duluan,"ucap Wira membuatnya menggeleng lucu.

"Buna ayang adek,"ucap Ashifa menggoyangkan jemarinya.

Meskipun dirinya masih kecil tidak mau kalah dari Ayahnya dalam urusan pakaian. Anak itu mengambil pakaiannya sendiri dan berlari meminta ku memakaikan. Wira hanya terkekeh setiap kali melihat tingkah laku putrinya. Pria itu selalu mengatakan dirinya begitu bahagia sebelum tidur. Sebagaimana diriku yang merasa senang dalam setiap waktu.

"Adek, hari ini kita mau ke rumah Nenek,"ucapku membuat kedua matanya berbinar.

Pipinya menggembung begitu senang sembari melompat-lompat mengundang gelak tawa. Ashifa lantas segera turun mencari tas kesayangannya untuk diisi dengan berbagai buku dari neneknya. Sementara Wira masih bertahan dengan manjanya tidak mau kalah dari Ashifa.

"Mas, pakai sampo apa? Kenapa aneh gitu?"tanyaku merasa mual mencium aromanya.

"Sampo biasanya, Dek. Semuanya seperti biasa kecuali semua indra di tubuhmu. Dari bantal tidur sampai sampo semuanya sama. Sepertinya kamu yang sedang bermasalah,"ucap Wira berbalik menatapku.

Saujana Sandyakala ~ CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang