Bab 12 : Persepsi

47 7 0
                                    

Satu persatu balok es tercampur dengan warna merah muda membuat corak berbeda. Sebenarnya Wira sudah melarang ku membuat sesuatu yang dingin di malam hari. Tapi ini di rumah kedua orang tua ku.

Kalian tidak salah membacanya.

Aku memang tengah berada di rumah kedua orang tua ku. Setelah mereka meminta kami berkunjung dan bermalam di rumah. Sedari tadi, aku hanya melihat Ibu di depan televisi. Sementara Bapak dan Wira tengah ada kenduri.

"Kamu itu sudah besar masih minum es kopyor malam-malam,"tegur seorang perempuan yang asyik dengan sinetronnya.

"Enak, Bu. Kalau di rumah, Pak Wira nggak akan bolehkan Nilam buat sendiri,"ucapku.

"Wira baik-baik saja padamu, kan?"tanya Ibu menoleh menuang air dalam gelas lain.

Perempuan itu rupanya cukup tertarik dengan apa yang tengah ku buat di malam hari. Dirinya bahkan tidak peduli dengan keanehan ku. Biasanya tidak habis satu paragraf untuk berceramah.

"Nilam seperti putri raja saja, Bu. Pak Wira senang sekali mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri. Katanya Nilam lebih baik belajar saja,"ucapku.

"Bagus dong. Apa masalahnya? Lagipula dia tahu perempuan yang dia nikahi masih muda. Sudah jadi konsekuensinya,"ucap Ibu membuatku tersenyum getir.

Apa kalimat seperti ini yang seringkali Wira dengarkan dari Ibu? Aku mendengarnya saja tidak enak hati. Meskipun aku masih kuliah, statusnya telah menjadi istri. Aku pun merasa perlu melakukan hal tersebut. Namun sayangnya, perempuan di sebelah ku masih saja menganggap Wira adalah pria keji.

"Bu. Apa sampai sekarang Ibu keberatan dengan Mas Wira?"tanyaku pelan.

"Untuk apa Ibu keberatan? Toh, kamu sudah menikah. Ibu hanya berkomentar dengan masalahmu saja,"ucap Ibu ketus.

"Apa yang membuat Ibu tidak nyaman dengan pernikahan Nilam?"tanyaku terus terang.

Kalau ku pikir, rasanya aku terasa jauh sejak menikah. Ku pikir karena tidak tinggal bersama. Aku tidak pernah tahu apa saja yang dikatakan Ibu pada Wira. Bahkan dirinya mungkin telah banyak mendengar kalimat buruk.

"Ibumu itu hanya marah. Setelah menikah, kamu jarang memberi kabar pada kami. Justru Mas Wira yang menghubungi kami setiap hari,"ucap Bapak tiba dengan membawa nasi dalam kresek.

Sama halnya dengan Wira sudah tiba dengan barang bawaan sejenis. Aku segera beranjak menyambut keduanya. Coba saja belum menikah langsung mengambil bawaan Bapak dan membukanya di depan televisi. Sayangnya, sekarang sudah ada suami yang tengah menatapku lekat.

"Mas Wira ternyata banyak dikenal orang, ya,"ucap Bapak masuk terlebih dahulu.

"Dia kan dosen sudah lama, Pak. Pasti banyak yang kenal,"ucap Ibu singkat.

Sungguh.

Aku tidak pernah mendengar kata-kata begitu keras terdengar di telinga dari mulut perempuan paling lemah lembut. Ada apa dengannya? Apa hanya aku yang merasakan rasa ketidaksukaan Ibu pada Wira? Atau itu hanya prasangka saja?

Sementara mereka berbincang, aku hanya menurut mengikuti langkah Wira duduk bergabung dengan pembahasan. Pria itu tidak banyak berkomentar hanya diam saja sama seperti biasanya.

"Tapi tadi bukan dari tempat kerjanya, Bu. Nilam sudah menikah masih saja minum es tengah malam begini. Kurang bagus untuk perempuan yang sudah menikah loh, Nak,"ucap Bapak.

"Bagus tidaknya itu tergantung suaminya, Pak. Nilam itu masih muda, pasti hormonnya masih bagus,"ucap Ibu sontak membuat terperanjat.

Wira segera menggenggam tangan ku begitu kalimat itu usai dilontarkan. Mengapa Ibu menjadi begitu bencinya dengan Wira? Apa salahnya hingga membuat kebencian itu tumbuh dengan subur? Bapak yang merasa suasana mulai tidak kondusif segera menggiring Ibu ke kamar menyisakan ku dan Wira.

Saujana Sandyakala ~ CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang