Aroma minyak kayu putih yang menguar dari kedua lubang hidung ku membuat kesadaran terasa lebih nyata. Aku bisa merasakan pipi ku terasa dingin bekas aliran membasah. Perlahan aku membuka mata tampak Ibu menatap ku begitu cemas. Sontak membuatku segera duduk.
"Bu, dimana Mas Wira?"tanyaku.
"Cukup, Nilam. Kamu sudah berani menyembunyikan kenyataan kondisimu dari Ibu. Jangan buat Ibu semakin malu dengan Ibu mertuamu dengan mencarinya,"ucap Ibu terlihat jelas bekas air mata dari kedua matanya.
Perempuan itu berbalik enggan menatapku. Dirinya seperti tengah begitu terpukul dengan apa yang dirinya ketahui. Aku tidak lagi melihat barang milik Wira di kamar ku. Apa Wira benar-benar meninggalkan ku?
"Ibu, Nilam tidak pernah bermaksud begitu. Di hari itu, Nilam sudah mau membuka suara. Tapi Mas Wira melarang Nilam karena tahu hal itu tidak akan bisa Ibu terima,"ucapku.
"Lupakan dia, Nilam. Bapak sedang mengantarnya pulang ke rumah Mbak Khajidah sekaligus menyampaikan permintaan maaf. Ibu mohon berhenti, Nilam,"ucap Ibu menekan kedua pundak ku.
Aku hanya menatapnya lekat dengan air mata kembali menuruni pipi. Apa takdir ku hanya sampai di situ saja? Apa setelah ini aku harus menerima apapun yang akan ku terima dari kabar pria itu? Sekalipun dia menikah dengan perempuan lain? Memikirkan saja sudah membuat hatiku pedih.
Pernikahan ku yang seumur jagung tanpa ada interaksi ini pupus begitu saja. Aku tidak lagi bisa berkata-kata. Bibir ku terasa kering. Bahkan lidah ku terasa kelu untuk berbicara lebih banyak. Terlebih dengan semua barangnya benar-benar telah hilang dari kamar ku.
"Tidak saling bertemu akan lebih baik, Nilam. Bapak akan mengambil semua pakaianmu dari rumah, Mas Wira. Fokus saja dengan kuliah mu saat ini. Setelah ini, Bapak dan Ibu akan membawamu berobat sekaligus pindah ke tempat yang jauh,"ucap Ibu membuatku menggeleng pelan.
"Tidak bisa begini, Bu. Setidaknya Mas Wira harus mengatakan sendiri dirinya benar-benar membatalkan pernikahan kami. Selagi Mas Wira tidak mengatakannya, aku tidak akan percaya,"ucapku kekeuh.
Namun belum sempat beranjak, aku hanya bisa menatap nanar dua koper yang tampak jelas milik ku diseret masuk. Apa pria itu benar-benar ingin membuang ku dari hidupnya? Kenapa dia tidak melakukan apapun? Kenapa dia tidak mencoba untuk menolak?
Tidak, pertanyaan ku salah.
Memangnya siapa aku yang pantas diperjuangkan? Setidaknya para kupu-kupu malam pun memiliki organ yang membuatnya disebut perempuan. Sedangkan aku hanya terlihat sebagai perempuan. Namun nyatanya tubuh ku cacat.
"Andai Bapak tahu sejak sebelum menikah, pasti Bapak menahannya. Setidaknya kamu tidak perlu terluka begini,"ucap Bapak mengusap kepala ku.
"Dia pria sejati yang cerdas dan mapan. Dia pasti punya standar tersendiri untuk mengisi rumahnya. Berhentilah, Nilam,"ucap Ibu membuatku tersenyum getir.
"Bagaimana caranya berhenti, Bu? Kalau Nilam tau, sebelum sah menjadi miliknya Nilam akan berhenti,"ucapku memeluk lutut resah.
Aku masih ingat dengan jelas. Kala itu Wira memeluk hangat tubuh ku saat rasa resah dan duka menyelimuti tanpa henti. Pria itu tidak membiarkan ku memeluk lutut. Sayangnya semua itu hanya tinggal kenangan. Mengapa aku harus terlahir dengan banyak cobaan?
"Jangan terlalu bersedih, Nilam. Lusa kamu sidang penelitian. Lekas selesaikan dan mari kita berobat. Setidaknya dengan berobat, jika saja Wira masih lajang dan memang milikmu. Akan kembali lagi hanya padamu,"ucap Bapak membuatku mendongak.
Bapak dan Ibu menepuk bahu ku pelan sebelum akhirnya beranjak meninggalkan sendiri. Jika saja ada Wira, dia pasti sudah memukul perasaan ku dengan logika. Semua kata itu terus menerus menjadi jika. Betapa beruntungnya perempuan yang berisi di posisi itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/322385978-288-k328510.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Saujana Sandyakala ~ Completed
Roman d'amour"Kecil, cengeng, ribet, berisik, penakut lagi,"ucap seorang pria mendengus sebal. Kira-kira begitulah komentar Prawira tentang istrinya. Bukan tentang romansa untuk menggoda. Sayangnya dia mengatakan dengan logika. Begitu risihnya pria itu dengan is...