Suasana hangat yang menyelimuti diri membuat kedua mataku terbuka. Suasana hiruk pikuk di UGD pasca kecelakaan beruntun masih belum usai. Corak cat yang melekat di dinding membuktikan diriku berada dimana. Ingatan ku setelah pingsan tentang mimpi panjang itu masih melekat. Bahkan pakaian yang ku pakai juga masih sama.
"Bun. Mas Wira siuman,"ucap Pram.
Bugh
Pukulan ringan itu cukup membuat pria yang menghampiri ku terhuyung. Rani dan Bunda yang baru datang kaget bukan kepalang melihatku memukul Pram. Sementara pria yang ku pukul masih berusaha menyadarkan diri dari situasi.
"Bagaimana bisa kamu menyembunyikan rahasia sebaik itu?"tanyaku bangkit.
"Mas Wira. Benturan kecelakaan tadi tidak membuatmu bingung, kan,"ucap Pram.
Enggan terus menerus dalam tanda tanya. Aku segera beranjak meninggalkan unit gawat darurat. Pram yang masih khawatir segera mengejar ku. Pria itu terlalu berlebihan hingga mengundang beberapa mata karena suaranya dalam berteriak. Lagipula aku hanya pingsan biasa bukan gegar otak.
"Mas, mau kemana?"tanya Pram menahan lift.
"Pram. Berhenti mengikuti ku dan segera pergi. Kamu sudah membuatku seperti orang gila dengan terus menerus bertanya dan mencari tahu,"ucapku membuatnya melangkah masuk.
Pintu lift tertutup seketika membuatnya menatapku penuh curiga. Pria itu masih belum berhenti mencurigai diriku mengalami gegar otak. Lagipula apa yang membuatku sampai gegar otak. Aku saja hanya terbentur belakang kursi mobil. Bukan kaca atau setir mobil. Aku tidak selemah itu untuk mengalami gegar otak.
"Mas, kamu tidak sedang bermimpi?"tanya Pram.
"Perempuan dalam mimpi,"ucapku enggan mengeluarkan terlalu banyak tenaga.
Sejenak ku hela nafas panjang menunggu pintu terbuka sembari memalingkan wajah enggan terus menerus dicurigai Pram. Bahkan sekarang kedua alisnya bertaut membuatku menghela nafas panjang. Sesekali Pram menyentuh kening seolah memastikan diriku baik-baik saja.
Aku memilih bungkam tidak ingin mengatakan apapun. Seperti caranya menyembunyikan fakta yang mencekik setiap saat. Dengan cara itu juga diriku berusaha menyelamatkan nyawa orang lain. Kecemburuan yang dimiliki Arini terlalu besar hingga tidak peduli lagi dengan tanggung jawabnya.
Pintu lift terbuka menampilkan sepasang insan yang tengah menatap kaca pembatas. Sunyinya lorong ini membuat keduanya segera menoleh sesaat setelah mendengar suara langkah kaki ku. Pria paruh baya itu mendekati ku dengan guratan tanda tanya di keningnya. Sepertinya dirinya masih heran dengan kehadiran ku yang begitu tiba-tiba.
"Mas Wira? Bukankah hari ini hari pernikahanmu?"tanyanya membuatku mengangguk pelan.
"Benar. Tetapi ada yang perlu saya lakukan hari ini. Saya ingin memindahkan Aluna dalam pengawasan saya di rumah sakit lain,"ucapku.
"Mengapa Mas Wira ingin melakukan itu? Dokter Arini adalah dokter yang profesional dan handal,"ucap perempuan itu turut bergabung.
"Mas. Apa yang kamu pikirkan?"tanya Pram membuatku menggeleng pelan.
"Saya mohon, Pak. Demi keselamatan Aluna, saya sudah meminta dokter spesialis lain untuk menanganinya. Dengan syarat harus berada di bawah pengawasan saya,"ucapku memohon.
Keduanya saling bertukar pandang berpikir sejenak. Tangan ku masih setia menatap detik demi detik yang berlalu. Sementara Pram tidak hentinya menanyakan maksud tindakan ku. Pernikahan ku seharusnya sudah berlangsung saat ini. Kecelakaan yang kami alami menyebabkan pernikahan ditunda selama beberapa waktu. Mustahil Arini tidak datang ke tempat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saujana Sandyakala ~ Completed
Romance"Kecil, cengeng, ribet, berisik, penakut lagi,"ucap seorang pria mendengus sebal. Kira-kira begitulah komentar Prawira tentang istrinya. Bukan tentang romansa untuk menggoda. Sayangnya dia mengatakan dengan logika. Begitu risihnya pria itu dengan is...