Bab 21 : Mantan

45 4 0
                                    

Suara denting sendok dan piring kembali menghiasi meja makan malam ini. Malam ini Bunda belum kunjung pulang. Namun melarang ku menyusul ke rumah sakit. Tidak lain karena kehamilan ku sangat rentan mengalami keguguran. Bahkan ketika orang lain perlu melakukan aktivitas ringan untuk mempermudah kelahiran, aku berbeda.

Hah.

Mengingat tentang kelahiran yang semakin dekat membuatku terdiam semu. Aku akan segera melahirkan dalam waktu dekat. Dan sepanjang waktu itu aku berpisah jarak dengan kekasih ku. Di saat orang lain bisa bermanja dengan kekasihnya, aku masih setia menunggu setiap kabarnya. Ingin rasanya menghubunginya dan menanyakan apa yang tengah dia lakukan.

Sayangnya, dia adalah Prawira Dirga. Pria yang dengan namanya saja sudah membuatku bersemu kemerahan. Aku malu menanyakan semua hal itu. Namun terkadang aku pun tidak tahan menunggunya menghubungi. Seperti malam ini tepatnya.

Biasanya, dia akan menelfon menanyakan beberapa hal terkait kondisi ku dan janin 30 minggu yang melekat. Seolah mengerti siapa yang sedang ku pikirkan, terasa sebuah tendangan halus. Dia dan Ayahnya adalah perpaduan yang sempurna. Aku pikir anak ini akan terlahir sebagai perempuan.

Selain tingkahnya yang mendadak brutal saat menghubungi Wira, dirinya pun bisa begitu tenang saat tercium aroma pakaian Wira. Hal itu menjadi salah satu alasan diriku seringkali mena.ruh pakaiannya sembari memeluknya untuk menenangkan tubuh mungil itu.

"Malam ini Ayahmu mungkin sedang sibuk diluar sana. Seharusnya dia bertemu denganmu beberapa bulan lalu. Tapi sayangnya disana sedang bentrok. Demi keamanan, Ayahmu menunda pulang. Sekarang ayo kita membaca buku saja,"ucapku menenangkan anak itu.

Sembari memilih beberapa buku di rak Wira, sesekali mata ku melirik ke arah figura di sisi ranjang. Kapan aku bisa melihat wajah tampannya itu lagi? Kapan aku bisa menyentuhnya dari dekat? Aku tidak pernah mengatakan berpisah jarak itu mudah. Hanya saja menikmati rindu yang mengalun itu terasa nikmat.

Bunda sesekali tersenyum geli melihatku memeluk pakaian Wira. Tapi mau bagaimana lagi? Perut ku terus saja bergejolak jika tanpa mencium aroma parfum pria itu. Aku memang mencintai pria itu. Tapi tidak segila janin yang tengah ku kandung saat ini.

Bahkan potret wisuda pun tidak ada kehadirannya. Aku hanya ditemani Bunda, Ibu, Bapak dan teman-teman ku yang lain. Pria itu hanya mengucapkan selamat via video call saja. Itu pun atas inisiatif Bunda yang menghubunginya lebih dulu. Aku masih saja canggung jika diminta menghubunginya.

"Sepertinya malam ini aku mau tidur saja. Besok pagi saja kita belajar,"ucapku memejamkan mata.

Seharian ini aku tidak banyak melakukan aktivitas. Namun dengan mudahnya merasakan lelah dan penat di sekujur tubuh. Terlebih kaki ku mudah sekali membengkak jika terlalu banyak berdiri. Belum lagi beberapa hal yang perlu ku hentikan sejenak mengingat adanya janin dalam rahim rentan keguguran.

"Kapan Ayahmu pulang, Dek?"gumam ku mengusap perut sembari menatap potret wajah Wira di layar ponsel.

Lama sudah mata ini menanti perjumpaan dengannya. Aku sudah bermain kesana kemari. Tapi tidak bisa mengurangi rindu yang tengah mengekang. Terkadang aku pulang ke rumah Wira sekedar melepas rindu. Di saat aku merasa mulai merana, janin ku seolah mengerti menendang halus sebagai respon.

"Tumbuhlah sehat dan temui Ayahmu saat lahir nanti, ya,"ucapku memejamkan mata melepaskan kantuk.

Belum sempat memejamkan mata, pesan singkat dari Risa membuatku mengernyitkan kening heran.

"Besok ada orang yang ingin sekali bertemu denganmu".

Aku tidak pernah berpikir punya hutang atau hal yang belum selesai. Lantas, mengapa ada yang begitu ingin bertemu dengan ku? Hah, Risa mengganggu aktivitas tidur malam ku dengan berpikir panjang. Bisakah dirinya mengatakan besok saja? Sekarang aku menjadi bertanya-tanya, siapa yang akan menemui ku besok? Aku hanya berharap pertemuan itu bukan sesuatu yang menyedihkan

Saujana Sandyakala ~ CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang