Beberapa hari berlalu, olimpiade semakin dekat namun belum ada kejelasan mengenai dana sponsor yang dibawa kabur oleh bendahara umum. Dengan sisa keberanian yang ada, siang ini Nay menemui koordinator acara.
Plakk
Sebuah tamparan keras menyambut kedatangan Nay. Tangannya gemetar dan matanya mulai berkaca-kaca. Dia ketakutan namun tak bisa berbuat apapun karena sadar ini adalah kesalahannya. Selama beberapa menit suasana hening.
"Apa yang harus ku katakan pada rektor?" Pria itu melirik Nay sekilas. "Kau tahu kan ini adalah event bergengsi tahunan kampus?" Nay mengangguk pelan.
Pria bersetelan rapi itu menjauh sembari meruntuk kata-kata yang tidak seharusnya dia ucapkan di lingkungan kampus. Tanpa diberitahu Nay sudah tahu kalau pria itu pasti sedang bingung dan panik karena olimpiade semakin dekat.
Pyarr
Sebuah vas bunga melayang tepat di depan kaki Nay. Beruntung hari ini dia mengenakan sepatu kalau tidak pasti kakinya akan terluka terkena pecahan vas bunga. Lagi-lagi Nay hanya bisa diam menahan tangis.
"Ck! Apa kau bisu? Bicaralah dan beri saran!" Gertak pria itu dengan nada kesal. "Menyebalkan sekali." Runtuknya membuat Nay berusaha buka suara.
"M-maaf saya dan panitia lain hanya bisa mengumpulkan ini." Dengan tangan gemetar Nay mengeluarkan sebuah amplop berisi uang darurat.
Pria itu menarik Nay mendekat hingga. Cengkeraman tangannya cukup kuat hingga membuat Nay meringis kesakitan. Namun pria itu sama sekali tak peduli, dia hanya ingin uang yang dibawa bendahara umum kembali dan olimpiade berjalan lancar.
"Kau sedang mempermainkan ku? Kau pikir 3 juta bisa menutupi dana olimpiade?" Nay menggeleng, kini dia tak mampu lagi menahan air mata.
"Maaf kami sudah berusaha untuk mencarinya namun dia seperti hilang di telan bumi. Bahkan keluarganya juga tidak bisa dihubungi."
"Itu karena kalian bodoh." Gertaknya. "Shh- seharusnya aku tidak menjadikanmu ketua acara. Sama sekali tidak berguna, PERGILAH!"
Nay buru-buru keluar dari ruangan khawatir pria itu berubah pikiran, beberapa menit saja rasanya seperti berjam-jam. Pria itu sangat menakutkan dan mengintimidasi, pantas saja tak ada yang berani menentangnya setiap kali diskusi.
Saat akan pulang, tak sengaja Nay berpapasan dengan Ona dan Arga yang sedang membeli cilok depan perpustakaan pusat. Mereka terlihat ceria seperti biasa, seolah tak punya masalah dan beban hidup dipundaknya.
Nay berniat menyapa namun entah mengapa ada sesuatu yang menahan dirinya. Nay tak ingin senyum mereka hilang karena membantunya mengingat masalah Adis juga belum ada titik terang. Maka dari itu Nay memutuskan berlalu.
"Nay!" gumam Arga membuat Ona bergegas berlari menahan nay.
"Lepas, gue ada kuliah."
"Alesan. Kenapa ga pernah pulang? Selama ini Lo nginep dimana?" Cecar Ona cemas.
"Bukan urusan Lo."
"Nay jangan gitu, kita kan temen." Timpal Arga sedikit kesal dengan sikap Nay.
"Bener coba Lo cerita siapa tau kita bisa bantu." Ona masih tak menyerah.
"Emangnya kalo gue cerita kalian bisa bantu?" Keduanya terdiam. "Gak kan?"
"Nay seenggaknya kita bisa cari solusi bareng." Ona berusaha meyakinkan Nay bahwa semua bisa dilalui jika bersama.
"Iyaa Lo bisa kurangin sedikit beban Lo dan bagi ke kita." Untuk pertama kalinya Arga terdengar tulus. "Bentar deh-"
Arga menangkup dagu Nay dengan tangannya kemudian melihat pipi Nay yang memerah. Ona terbelalak saat melihat ada cap tangan seseorang. Arga yang awalnya santai berubah tegang setelah melihat bekas tamparan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOUTH
Fanfiction"Kalo udah tua kita tinggal serumah kayak gini enak kali ya?" Ada saja pertanyaan konyol yang terlintas di pikiran salah satu penghuni penangkaran buaya itu. Namun tidak ada salahnya berharap takdir akan mengabulkannya. Siapa tahu mereka punya kesem...