Angin musim gugur berhembus kencang di luar Gereja Fransiskus terbesar dunia. Desirnya terdengar hingga ke dalam basilika, mengusik keheningan petang. Kususuri koridor monumen makam para sosok legendaris yang berselimut cahaya temaram. Sesekali menyimak derap sepatu botku di lantai yang cukup berisik untuk mengacaukan meditasi seorang pertapa. Namun sayang, tanda-tanda kemunculanku sama sekali tak menggubris perhatian Leo dari sebuah patung yang memonumenkan eksistensinya. Bahkan kini aku telah berhenti tepat di belakangnya. Dia masih juga bergeming, memperlakukanku seperti makhluk transparan.
“Basilika yang menawan, bukan?” Kumulai ocehan, berusaha menarik fokus sang astronom dari monumen di hadapannya.
“Bisakah kau beri aku waktu sebentar lagi?” Tanpa menoleh, Leo memberi tanggapan cepat, mementahkan basa-basiku.
“Sebentar saja …” kali ini nadanya terdengar sedikit memelas.
Aku mengumpat dalam hati. Menahan diri untuk tidak mengatakan ugh, sial, sampai kapan aku harus menunggumu selesai merenungi kenangan? Jujur aku ingin menolak mentah-mentah permintaannya. Namun hatiku yang kelewat lembut tak kuasa bila harus mendikte senior berumur ratusan tahun lebih tua dariku. Juga sungguh disayangkan, menunggu Leo peka bahwa waktu adalah hal yang sangat berharga untukku adalah sebuah kesia-siaan.
“Baiklah …” sahutkku mengalah. Setuju memberinya tambahan waktu.
“Terima kasih, Angel.”
“Tidak masalah.”
Kuputuskan tetap berdiri di sekitaran Leo seperti robot pengintai, agar lelaki itu tidak abai kalau aku sedang menunggu.
Aku sudah mengelilingi seantero basilika bergaya padu padan gothik dan renaisans ini, bahkan sempat berhenti sebentar di monumen makam Niccolò Machievelli. Itu kulakukan sekedar untuk memberi Leo waktu menyendiri. Merenungi segala hal yang hendak ia renungi.
Sebagaimana paradoks ketakterhinggaan, aku yakin Leo memiliki pandangan dan imaginasi seluas jagad raya. Sayangnya aku tidak memiliki kemampuan menyelami isi pikiran seseorang, apalagi pikiran kompleks seorang astronom seperti Leo. Lelaki itu sedang hanyut dan tenggelam dalam arus memorinya. Petang telah sirna, bayang-bayang malam mulai mengambil alih keheningan. Kuhela napas panjang, berusaha memaklumi kondisi mental lelaki itu. Mengobati rindu sekian abad dalam waktu sekian menit adalah hal yang sangat berat. Ya, aku bisa maklum.
Leo. Dengan nama itu kupanggil dia. Sementara dia memanggilku dengan sebutan Angel. Lebih tepatnya, itu adalah sebuah julukan. Pun aku tak pernah benar-benar memberitahunya nama asliku.
Asal mula Leo menjulukiku Angel tak lepas dari satu peristiwa di masa lalu. Pada suatu hari di sebuah rumah di Kota Arceti, aku pernah menyelamatkan seorang tahanan Inkuisisi Roma. Dia bernama Galileo Galilei. Benar sekali! Lelaki tua, buta, dan sekarat itu adalah Leo yang punggungnya sedang kupandangi saat ini.
Sulit dipercaya, bukan? Orang yang sudah mati berabad-abad lalu ternyata masih hidup dan sedang mengunjungi makamnya sendiri.
"Kurasa kita harus pergi dari sini, Leo," tegasku sembari menatap jam di pergelangan tangan. Beberapa menit sudah berlalu, cukup untuk porsi sebentar yang Leo tekankan dalam permintaannya tadi. “Sekarang!”
Komandoku—sialnya—hanya dibalas dengan gumaman kecil oleh Leo. Kali ini sang astronom mulai menguji kesabaranku.
Kebungkaman Leo menyeret ingatanku ke sebuah momentum di abad pertengahan. Kala itu, aku berhasil menyabotase kematian Leo berkat bantuan seorang penyair asal Inggris bernama John. Sosok penyair itu pernah dekat denganku. Dekat, namun bukan romantis. Magnet yang ada di antara kami berkutub pada intelektualitas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Starseed: Beyond The Celestial
Science FictionGenre: Sci-fi, Drama, Mystery Blurberry: Sebuah persaudaraan yang berkoloni di suatu tempat rahasia, mengirim dua utusannya (Leo dan Angel) untuk menyelamatkan hidup dua anak (Aurora dan Dany) yang sekarat akibat sebuah kecelakaan, sekaligus melakuk...