Cameron Highlands, 2019
Malina menjeda kisahnya di waktu bersamaan stroberi terakhir luluh lantak digiling geligi Victor. Menyisakan puntung batang berwarna hijau berserakan di dalam baskom. Malina dan Victor sama-sama membisu beberapa jenak, hingga lelaki itu kembali memecah hening tatkala mulutnya kosong. Sang cucu seakan bisa merasakan ketidaksiapan neneknya untuk melanjutkan cerita.
"Kalau Grandma merasa berat hati, tidak perlu dilanjutkan. Kita bisa melompatinya."
Malina kini sampai pada sebuah pengalaman terkelam dalam hidupnya. Sebuah keteledoran kecil yang menghempasnya ke titik nadir. Victor benar, ia bisa melompatinya. Namun segala macam sensor tidak dapat mengubah realitas. Diceritakan atau disimpan selamanya, trauma atas kejadian itu tidak pernah bisa hilang. Ia tidak pernah bisa sama lagi setelah hari itu.
"Aku akan menceritakannya," Malina membuat sebuah keputusan yang memantik adrenalin.
"Are you serious, Grandma? Please, don't do things against your will."
"I'm ready to let it kills me for one last time," Malina menyahut cepat, memantapkan hatinya. "Aku ingin bebas. Tidak ingin bersembunyi di lubang yang sama selamanya."
*
Singapura, 1988
Malina mengenal sosok yang sempat ia amati dari lubang pintu sebelum membukakan pintu untuknya. Mata beriris biru samudera, rambut cokelat terang bak warna ilalang kering, garis wajahnya tegas, postur tubuhnya kokoh, dan corak kulitnya yang mengalami perubahan warna dari putih ke sawo matang. Sekilas Malina dipermainkan oleh kemiripan momentum yang sedang terjadi. Azura yang tertidur anggun di meja rias mengingatkannya pada bayi Aurora yang tertidur pulas di keranjang rotan, suara ketukan rendah di pintu yang seakan tak ingin mengusik tidur sang putri, dan muncullah sosok asing yang mengonfrontasinya.
Namun segala kesan identik itu lenyap saat senyuman melumuri paras sang tamu yang sungguh mengingatkannya pada seseorang.
"Selamat siang, Bu."
Sapaan sehangat lelehan coklat dan panggilan Bu barusan membuat Malina sedikit terhenyak. Namun ia coba menahan diri dari godaan untuk berspekulasi yang macam-macam. Ia mungkin lupa pada nama lelaki itu, namun ingatan fotografisnya telah mengabadikan paras dan figur sosok itu. Di hadapan Malina berdiri seorang pemburu asal Inggris. Beberapa waktu lalu pemburu itu datang sebagai saksi mata tunggal yang melihat Aurora berkeliaran di hutan tak jauh dari lokasi kecelakaan. Pemburu itulah yang memberinya sejumput alasan untuk berharap suatu hari putrinya akan kembali.
"Silahkan!" ajak Malina. Menguak lebar pintu dan mempersilahkan sang tamu masuk.
"Terima kasih," ucap Rickard Hudson, lelaki Inggris itu.
"Kenapa kau tidak memencet bel?" Malina berusaha menuntaskan rasa ingin tahunya. Siapapun yang datang biasanya memencet bel, hanya Azura seorang yang kebiasaan mengetuk sebelum membuka sendiri pintunya.
"Seseorang pernah memberitahuku kalau suara ketukan pintu terdengar lebih merdu dibandingkan suara bel."
"Apa seseorang yang kau maksud adah Azura?"
Lelaki itu mengangguk dan tersenyum dengan kepala tertunduk malu. Malina bisa merasakan pancaran oksitosin mengkontaminasi atmosfer. Nyata sekali kaki lelaki itu sedang tak jejak di bumi, mabuk kepayang. Baru saja hendak mempersilahkan Rick duduk, Azura muncul dari balik pintu kamarnya. Turut menyambut dan mempersilahkan Rick duduk.
Hari itu, di hadapan Malina, Rickard Hudson melamar Azura sebagai istrinya. Malina sangat tersentuh pada pengakuan jantan Rick yang jujur, apa adanya, indah, meskipun tidak puitis. Hati Malina mengharu biru. Likuid bening berlinang dari sudut-sudut matanya. Ternyata fungsi air mata tak hanya mewakili kesedihan, namun juga ungkapan kebahagiaan yang hakiki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Starseed: Beyond The Celestial
Ciencia FicciónGenre: Sci-fi, Drama, Mystery Blurberry: Sebuah persaudaraan yang berkoloni di suatu tempat rahasia, mengirim dua utusannya (Leo dan Angel) untuk menyelamatkan hidup dua anak (Aurora dan Dany) yang sekarat akibat sebuah kecelakaan, sekaligus melakuk...