57. Magnet

6 1 0
                                    

Jakarta, 1977

"Bagaimana kabarmu, Lin? Bagaimana keadaan Husein? Kenapa kau tidak mengabari aku tentang Husein jatuh dari tangga?"

"Maaf, Rosa. Aku benar-benar diperangkap ruang dan waktu sampai tidak sempat menghubungimu."

"Aku menelepon ke rumahmu pagi tadi. Mbak Sari cerita semuanya. Aku sangat mencemaskanmu, mencemaskan anak-anak ...."

"Jangan cemas! Semua baik-baik saja dan akan selalu baik-baik saja."

Kedatangan Rosa dengan tujuan menjenguk Husein (sekaligus menumpas keingintahuan terhadap perkembangan upaya Malina untuk memperjuangkan keadilan), tidak cukup membuat Malina teralihkan dari isi percakapannya dengan Dany kurang dari sejam lalu. Namun dua bungkus nasi padang yang Rosa bawa—berhasil menjadi pelarian sesaat, mengulur waktu untuk mengisi perut yang lapar sembari menjernihkan pikiran yang keruh. Pagi tadi Malina melewatkan sarapannya karena kedatangan nenek dan kakek Husein.

Kedatangan Rosa hanya selisih beberapa menit dari kepulangan nenek dan kakek Husein. Malina menduga mereka berpapasan di koridor atau pintu masuk rumah sakit. Namun tampaknya mereka sama-sama tidak sadar saat berpapasan. Rosa dan orangtua Zara hanya pernah bertemu sekali sebelumnya, tepatnya di hari pernikahan Zara dan Gibran tempo itu. Kejadiannya sudah berlalu cukup lama untuk saling mengingat nama maupun rupa.

Sebelum Rosa menuntut pembaruan status keadaan yang sedang dihadapinya, cepat-cepat ia mengajak Rosa cuci tangan untuk menyantap nasi padang yang masih mengepul hangat. Malina butuh pasokan energi yang cukup untuk bercerita panjang lebar. Bahkan kini sepertinya ia tidak mau bercerita terlalu banyak kepada sahabatnya itu. Bukan karena tidak mempercayai Rosa, Malina hanya tidak ingin membebani pikiran Rosa dengan lebih banyak kecemasan. Ditambah lagi urusan Rosa juga sudah banyak.

Sejurus Malina ditatap tajam, tampaknya Rosa tidak berniat menyentuh makan siangnya sebelum mendengar jawaban Malina. Atau, bisa pula takut tersedak jika tiba-tiba mendengar sesuatu yang mengejutkan dari Malina. Rosa berusaha keras menunjukkan bahwa dirinya bisa sabar menunggu, padahal Malina tahu betul setipis apa kesabaran Rosa saat sedang penasaran.

"Aku lapar. Pagi tadi cuma makan selembar roti dengan selai srikaya. Waktu aku mau pergi ke kantin, kakek dan nenek Husein datang. Jadi aku gunakan kesempatan yang ada untuk pergi ke sekolah anak-anak. Kebetulan sekolah mereka tidak jauh dari sini. Aku hanya ingin memastikan Dany dan Aurora tidak terguncang dengan kejadian yang menimpa Husein. Setelah itu, aku buru-buru kembali ke sini," Malina memulai pembicaraan dengan penjabaran kronologis sembari melucuti bungkusan nasi padang. Ia sudah tidak peduli Rosa mau ikutan makan atau tidak, Malina langsung menyantap makan siangnya.

"Aku tahu kebiasaanmu dalam situasi-situasi seperti ini. Makanya aku bawakan kau makanan."

"Terima kasih. Ini enak sekali. Kau beli di mana?"

"Tentu saja di warung padang."

"Aku tahu, tapi warung yang mana?"

Rosa berdecak tak percaya, bisa-bisanya Malina berbasa-basi dengannya. "Sudahlah. Makan saja dulu! Sekarang kau tidak perlu bicara. Biar aku yang bicara dan kau dengarkan aku baik-baik." Rosa berucap tegas, membuat Malina terdiam dengan mulut terus mengunyah. Raut wajah Rosa tampak serius sekali.

Rosa menarik napas dalam-dalam sejenak sebelum menyampaikan apa yang ingin disampaikannya. "Sebelumnya, jangan terkejut dengan apa yang akan kau dengar! Aku tidak ingin kau sampai tersedak," prolog Rosa sembari terus mengatur tarikan napas. "Aku akan menikah dalam waktu dekat ini."

Untung saja sudah diperingatkan, jika tidak Malina benar-benar akan tersedak. "Menikah? Menikah dengan siapa?"

"Dengan pria pilihan orangtuaku. Namanya David. Dia seorang arsitek."

Starseed: Beyond The Celestial Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang